Abahku tidak mendidikku dengan Kata, Beliau Mendidikku dengan Rasa.

Hilyah, Nur Hanifansyah. Abah Abdurrahman bin Sakar
Hilyah, Nur Hanifansyah. Abah Abdurrahman bin Sakar

Sekedar Bercerita tentang kenangan bersama Abah.
Abahku setiap harinya jarang bicara alias lebih banyak diem, ngomong hanya hal hal penting, bersosialiasi dengan baik dengan warga, tidak ada kata dari beliau yang menyakiti orang lain, karena pada dasarnya beliau sangat pendiam.
di setiap pertemuan menyapa warga dengan senyuman dan tertawa, mengiyakan omongan orang lain dan lebih fokus mendengarkan, jika ada tamu dan bertamu pun ibu yang lebih berperan dalam menggiring suasana bicara, abah hanya diam mendengarkan dan sesekali tertawa.


mungkin bakat pendiamku dulunya dari sana,saya punya bakat pendiam tapi tidak di ruangan kelas dan tidak ketika saya membina junior dan anak didik saya, haha,

Read More


saya betah duduk diem dieman sama teman tp tetap merasa akrab, dari bakat pendiem itu saya coba menuliskan isi hati,karena sejatinya sosok pendiam bagaimana pun hatinya selalu berbicara.
beliau tidak pernah membimbingku dengan

tutur kata, tidak pernah mengajariku dengan retorika kalimat,namun saya dan ibu sudah hapal raut wajah abah,kapan abah tidak suka dengan prilakuku, kapan abah marah,kapan abah kecewa, kapan abah sedih, kapan abah bahagia,semuanya saya rekam di benak pikiran saya dan menjadi barometer apa yang seharusnya sang anak lakukan dan apa yang tidak boleh di lakukan.


Mungkin itu sebabnya di sebuah keluarga saya dan ibu seakan menjadi pakar psikologi yang selalu berusaha memecahkan teka teki keinginan Abah dari detail raut wajah Abah.


dari bakat pendiam abah menurun ke saya, saya pun pada awalnya sangat pendiam, saking pendiamnya pada tahun 2007 saya menuliskan sebuah kalimat di buku tulis tebal “Buku ini khusus untuk belajar bicara”, tahun 2007 – 2009 adalah percobaan percobaan melatih bicara, walaupun sering kali minder merasa tidak didengarkan, sedikit banyak ada perkembangan namun akhirnya perkembangan pesat dari latihan menulis kalimat lebih terasa, itulah mengapa bahasa tulisan saya lebih lancar dari pada bahasa pertemuan, menjelaskan sebuah kronologi dan teori lebih mudah dari saya dari pada basa basi, curhat saya di tulisan lebih lancar dari pada curhat langsung ketika bertemu.
dari jiwa pendiam abah, saya belajar, mendengarkan lebih diutamakan, menjaga perasaan orang lain adalah hal penting, melangkah pasti lebih utama dari pada omongan belaka


Abahku tidak mendidikku dengan Kata, Beliau Mendidikku dengan Rasa.


Aku ingin menuliskan tentang Abah apa adanya, namun kadang sesak tertahan air mata, bukan maksud membanggakan abah berlebihan namun ingin sekedar menguraikan kenangan di pikiran, dan mengabadikannya dalam bentuk tulisan.


Karena Abah Mendidikku dengan Kenangan, terukir dalam di benakku “Pendidikan Adalah Kenangan”.


makasih banyak doa dan al fatehah untuk Abah, Abdurrahman bin Sakar.
ini adalah foto saya masih kecil bersama Abah, di hidup beliau, senyuman beliau lebih sering dari pada kata dan kalimat yang beliau ucapkan.

Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *