Sebagai orangtua, wajar jika kita merasa kesal dengan anak kita sendiri: dipanggil tidak menjawab; terlalu asyik main; menunda sesuatu; kamar berantakan; sering membantah; dll.
Tapi tahukah Anda bahwa peradaban berutang besar pada orang-orang yang punya imajinasi besar, dan mereka yg memiliki itu, punya sederet perilaku yg gampang membuat kita sebagai orangtua merasa kesal. Mungkin kita keliru karena mengacak-acak tahapan dan kompartemen yg ada dalam diri anak-anak. Misalnya, bermain mendahului disiplin. Permainan mengembangkan daya jelajah imajinasi bocah, risikonya, dia bakal lupa waktu karena antusias. Sementara sebagai orangtua, kita menginginkan anak kita disiplin.
Disiplin bisa disusulkan. Butuh umur tertentu untuk paham pentingnya disiplin. Tapi imajinasi yg terlanjur kita persempit, akan susah mengembalikannya di usia berapa pun. Seorang bocah yg imajinasinya kita represi, dia punya kecenderungan besar untuk tidak mau mengembangkannya. Takut salah. Tidak mendapatkan apresiasi. Penuh kekhawatiran. Dan berkelanjutan menjadi sikap pasif. Bahkan punya kecenderungan pesimistis.
Alam punya kaidah unik. Imajinasi hanya bisa dimainkan secara maksimal oleh anak-anak. Lalu akan tumbuh berkembang seturut usia mereka. Imajinasi anak adalah anugerah besar, yang tidak mungkin diulang. Hingga tiba saatnya, dunia membuatnya menjadi lebih tertib, banyak aturan, banyak sopan-santun, dan banyak hal lain lagi.
Seyogianya, orangtua bukan tukang bonsai imajinasi anak. Bahkan kalau kita masuk ke dunia mereka, kita mesti melebur dan mengalah. Kita kembali menjadi kanak-kanak. Karena kita pernah mengalaminya. Tapi belum sempat menikmatinya. Jangan paksa anak kita, dewasa sebelum waktunya. Lalu imajinasi dan daya ciptanya, rontok sebelum tumbuh kokoh di jiwanya.