Resep Panjang Umur Kiai Masyhudi
@ rijal mumazziq z
“Setelah mendengar Resolusi Jihad, saya, mertua (KH. Shiddiq) dan para santri lainnya berangkat menuju stasiun Madiun. Berharap dapat gerbong kosong. Sayang kereta api sudah penuh. Lalu kami ingin naik truk. Ternyata sudah penuh. Banyak di antara kami yang nangis karena tidak terangkut. Bayangkan, pengen mati (syahid) saja harus mengantre seperti itu. Akhirnya, kami jalan kaki menuju Surabaya. Belum tiba di sana, kami sudah bertempur dengan tentara Inggris di wilayah Sidoarjo.”
Penuturan KH. Masyhudi, Prambon, Dagangan, Madiun, saat saya ngunduh kaweruh kepada beliau, 2008, silam. Beliau wafat 1 Maret setahun kemudian.
***
Beliau Mursyid Tarekat Syadziliyah. Wafat di usia 107 tahun, 1 Maret 2009. Saat saya sowan di ndalem, beliau didampingi istrinya, yang jarak usianya 52 tahun. Saya lupa nama istri beliau. Tapi orangnya grapyak-semanak. Waktu itu bunyai bersama para perempuan lain mempersiapkan hidangan guna keperluan pembaiatan jamaah Syadziliyah malam harinya. Para jamaah Syadziliyah yang beliau bimbing rata-rata sudah berusia senja. Dalam istilah beliau, “Membantu mempersiapkan diri menuju rumah abadi.”
Di usia senjanya, Kiai Masyhudi masih energik. Beliau cekatan menggeser pintu lemari buku yang terbuat dari kayu jati kuno. Setelah itu, beliau mengambil salah satu kitab, membacanya tanpa menggunakan kacamata dan menguraikan isinya. Usia lebih dari satu abad, tapi membaca kitab tanpa alat bantu! MasyaAllah! Sesekali beliau cerita masa mudanya saat mondok di Madrasah Mambaul Ulum, Solo, dimana beliau menjadi kakak kelas Prof. Munawwir Sjadzali, yang kelak menjadi menteri agama.
Saat saya sowan, beliau cerita jaringan ulama Madiun sejak era Kiai Ageng Anom Besari Caruban dan Kiai Ageng Basyariah Sewulan, zaman Raden Ronggo Prawirodirjo III (ayah Sentot Alibasyah), era revolusi fisik, juga zaman Pemberontakan PKI 1948 dimana mertuanya, KH. Siddiq, turut dieksekusi dan dikubur hidup-hidup.
Di bulan September kelam itu, jenazah kiai serta birokrat pro-Sukarno-Hatta dan perwira TNI, ditanam di salah satu lubang pembantaian. Selain Kiai Siddiq, ada juga Kiai Husen dan Kiai Barokah Fachruddin yang dikubur dalam satu lubang bersama 14 korban lain. Mengerikan!
Melalui lisan Kiai Masyhudi, dengan gaya bertutur-cerita ala “kakek kepada cucunya”, saya merasa keasyikan tersendiri. Cerita tentang Madiun, walaupun beliau bukan asli kota ini, yang hidup, aktif, dan menjalani “takdir”-nya sebagai sebuah kota yang dalam dua abad menjadi titik tumpu dua pemberontakan, dari Raden Ronggo hingga Muso.
Meminjam istilah Peter Carey dalam Kata Pengantar buku karya Onghok Ham, “Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Pada Abad XIX (Jakarta: KPG, 2018)”, kesejarahan Madiun tidak berhenti pada “September 1948”, hingga kota ini pernah diidentikkan dengan anyir Komunisme, melainkan ada “before and after”; pra dan pasca 1948.
Melalui perjumpaan sebentar dengan Kiai Masyhudi, yang dijuluki “Rais Syuriah PCNU Madiun Seumur Hidup” karena tidak ada kiai yang”berani” menggantikannya, saya melek literasi sebuah kota walaupun dijelaskan melalui lisan saja. Madiun yang dinamis, dan pada beberapa fase memainkan peranan penting dalam historiografi Islam di Indonesia. Tentu butuh upaya serius mendalami proses panjang ini.
***
Menjelang pamit, saya matur: “Apa kunci hidup panjang umur yang bermanfaat, mbahyai?”
Beliau terkekeh.
“Bahagia menjalani hidup, dan tidak usah sering memakan bangkai sesama manusia(*)!”
—–
(*) Memakan bangkai= ghibah.
***
Aboooot!
Lahul Fatihah