NU dan Keramat

Yang selalu ingin saya dengar dari para kiai atau habaib atau mubaligh itu bukan keramat bisa terbang ala Sun Go Ku, narik rante dari langit, mecah rogo, bicara dengan mayit, bangkit dari kubur, atau bisa bicara dengan hewan. Memang ada dan nyata kayak begini sebagaimana diceritakan oleh para ulama di berbagai kitab. Terkhusus di Jāmi’ Karāmāt al-Awliyā’.
Cerita keramat nan aneh para tokoh mungkin bisa membuat orang berdecak kagum, melongo takjub, tapi ya hanya “begitu” saja. Enak diomongkan. Jarang yang secara manusiawi bisa menduplikasi-nya. Itupun jika memang valid, sebab kadang tidak pernah diuji kredibilitas tukang ceritanya. Apalagi di lidah tukang ndopok, seringkali ada tambahan-tambahan kembang lambe, juga pansos Shohibul Hikayah. Khakhakhakhakha.
Saya lebih suka cerita yang manusiawi dan keramatnya bisa dirasakan manfaatnya bagi sesama. Soal Walisongo, misalnya, saya nggak mau cerita soal yang bisa terbang, 1 keris melayang membungnuh ribuan prajurit, dll. Itu urusan penceramah/shohibul hikayah lain.
Yang mau cerita ya monggo. Tapi saya hindari, sebab cerita demikian nggak menggerakkan masyarakat menuju saling tolong menolong dan kebaikan lain, hanya sekadar kembang lambe.
Bagiku, sepakat atau tidak terserah, keramat sekarang itu ya bisa menebar manfaat. Kalau ada kekeringan di desa, alirkan, gali bor sumur, biar manfaatnya mengalir. Pakai metode hewes-gewes sambil lempar tasbih lalu muncrat airnya, atau menancapkan tongkat lalu menyembur sumbernya kayak cerita Joko Thole, atau mendatangkan tukang dengan peralatan modern, silahkan saja. Yang penting masyarakat merasakan manfaatnya. Bukan cuma kibulan kisah mistik irasional yang nggak ada manfaatnya buat dirasakan khalayak yang membutuhkan uluran tangan.
Saya nggak percaya kisah Sunan Kalijaga yang nggak makan minum nggak shalat sampai brewokan bertahun-tahun menunggu Sunan Bonang. Itu gambaran film saja. Tanya sama Deddy Mizwar sono-lah! Dia kan pemeran sang sunan tadi. Juga babar blas nggak percaya ada sosok di Malang yang konon dikubur di tanah 40 hari nggak makan minum. Biar dianggap sakti, mungkin. Prekethek. Ra percoyo! Reneo lek gelem tak tandur awakmu nang pekarangan mburi omahku!
Saya lebih terkesan mendengar kisah Maulana Malik Ibrahim menjadi guru keliling, merintis langgar, mengobati yang sakit, membantu warga miskin. Atau Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mendidik para kader-kader terbaik untuk dikirim berdakwah ke Nusantara Timur, atau Sunan Drajat dengan falsafah-nya yang kondang misi pemberdayaan sosial dakwah keummatan, atau Sunan Kalijaga yang punya visi jangka panjang terhadap keseimbangan menjalankan syariah dengan mempertahankan adat dengan pendekatan ushul fiqih, atau Maulana Ishaq yang meredakan pagebluk di Blambangan dengan tatacara hidup bersih Islami, dll…
Ojo kakean nggedabrus cerito sing ora jelas lan cerito sing ora MENGGERAKKAN!
***
Keramat itu ada dan nyata, sebagai wujud bahwa agama bukan saja didekati secara nalar-logika, tapi juga sisi irasional yang transendental.
Tapi, tidak semua yang aneh dan nulayani adat itu bisa disebut keramat/karomah. Sebab, David Copperfield pun bisa terbang…😎
[Screenshoot ini chatingan, saling curhat, dengan sesama wong NU. Di desanya kekeringan. Butuh sumur]
Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *