menjadi “anak ruhani” atau “anak didik” dari para ulama yang ada di desanya

Waktu kecil, saya sering diajak bapak saya sowan ke para gurunya di Lumajang, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Di antaranya, Kiai Anas Mahfudz (santri Kiai Hasyim Asy’ari, perintis PCNU Lumajang, prajurit Hizbullah, kini namanya diabadikan menjadi nama masjid Jamik Lumajang), KH. Ghozali, KH. Faqih bin KH. Ghozali, KH. Miftah, KH. Khudlori (Ayahnya Mas Muhammad Khodafi), KH. Nawawi Rasyad (ayahnya Mas Romdlon Muchammad), KH. Ismam, semuanya ulama di Desa Gambiran, Lumajang; Kiai Komplang (saya tidak tahu nama aslinya, konon beliau bagian dari diaspora Prajurit Pangeran Diponegoro), maupun ke KH. Ahmad Barizi Hasbullah (ayah dari mertuanya Mas Labibul Wildan Fz), dan ke KH. Amak Fadholi, penggerak pendidikan di kabupaten ini, dan beberapa nama lain. Termasuk menziarahi pusara Kapten Kiai Ilyas, pimpinan Hizbullah yang kemudian aktif di TNI lantas gugur dalam Agresi Militer II.


Bagi saya, ini adalah mekanisme kurikulum pendidikan dasar lelaku yang diajarkan bapak saya. Mengenalkan para gurunya, baik yang masih hidup maupun sudah wafat kepada anaknya.
Pola pisowanan dan perziarahan semacam ini mengingatkan saya pada dawuhnya Maulana Habib Lutfi bin Yahya, bahwa pengenalan anak- anak maupun generasi muda kepada para ulama di daerahnya itu penting. Agar terjalin ikatan ruhaniah dan ilmiah yang kuat mengakar dengan para ulama di sekitar. Orang boleh menyebutnya “Kiai Kampung”, “Ulama Lokal”, atau apalah istilahnya. Tapi perannya sangat signifikan dalam dakwah dan tarbiyah kepada masyarakat di lingkungannya.

Read More


Beberapa orang yang terpelanting dari akar jatidirinya, tidak tahu diri, biasanya mula-mula terasing dari lingkungannya. Dia tercerabut dari akar budayanya, dari watak komunalnya, akhirnya menyempal. Orang-orang kayak begini yang biasanya bikin masalah. Benar pula kata Habib Umar bin Hafidz kepada para santrinya, agar ketika pulang ke daerahnya masing-masing, hendaknya tetap menjadi “anak ruhani” atau “anak didik” dari para ulama yang ada di desanya. Karena beliau-beliau inilah yang menjadi pemintal relasi sosial keagamaan di masyarakat.
Jadi, mula-mula, ayo kita ajak generasi kita sowan kepada para ulama di desa kita. Mereka akan belajar dari etiket kita sewaktu sowan: cara duduk, berbicara, mendengar, dan sebagainya.

Juga ketika kita ajak menziarahi pusara para ulama. Mereka akan belajar sejak dini bagaimana mencintai ulama, memuliakannya, sekaligus menjaga ikatan emosionalnya dengan sosok yang diziarahi. Minimal dengan cara ini kita memahamkannya pada cara dimana kelak dia akan mengenang orangtuanya yang sudah berkalang tanah.


* Muhammad Ilkiya al-Harrosi si “Captain America” ketika hadir dalam haul KH. Nor Shodiq, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, semalam.

Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *