Semoga Al-Qur’an Tidak Cemburu
Nasaruddin Idris Jauhar
Saat terjaga dari tidur, benda pertama yang saya raih adalah HP. Saya ingin segera tahu info dan berita penting apa yang terlewatkan selama saya tidur. Puluhan menit kadang tak terasa saya lewatkan untuk rutinitas penting ini. Setelah itu saya baru turun atau bangkit dari tempat tidur.
Semoga Al-Qur’an tidak cemburu, karena tidak mendapatkan perhatian yang sama dari saya. Saya tahu, dari atas lemari, dari atas meja, atau dari sela-sela buku lain, dia mengawasi kemesraan saya dengan HP ini setiap hari. Saya yakin, pasti pernah terbersit tanya dalam benaknya “kapan ya aku jadi yang pertama kau sentuh…?!” Tapi, sekali lagi, saya harap dia tidak cemburu.
Ketika waktu senggang, atau saat menunggu sesuatu, hampir pasti saya membuka HP. Dengan membuka akun medsos, membaca berita, memutar video, melihat-lihat foto, saya merasa waktu berlalu cepat, sehingga saya tak pernah merasa bosan atau bete menunggu. Bahkan, saya sering merasa waktu sudah berlalu sebelum saya puas membuka HP. Padahal, sudah tak terhitung berapa pesan yang sudah saya baca dan komentari, berapa video yang sudah saya putar, dan berapa judul berita yang sudah saya baca tuntas.
Semoga Al-Qur’an tidak cemburu, karena tidak mendapat perlakuan yang sama dari saya. Waktu bersamanya selalu saya rasakan berat dan lamban. Saya gak pernah memabaca Al-Qur’an dengan patokan waktu. Biasanya, saya pakai patokan halaman. Misalnya, membaca tiga halaman sekali duduk, atau satu juz sehari. Kalau tiga halaman atau satu juz itu sudah terbaca, saya merasa cukup dan langsung berhenti, padahan saya masih punya banyak waktu. Itu pun saya membacanya sambil berulang kali mengecek tinggal berapa halaman yang belum terbaca. Benar-benar membaca Al-Qur’an itu terasa berat dan butuh perjuangan. Maka setiap selesai membacanya, saya selalu melepas ucapan alhamdulillah dengan hembusan napas deras dan panjang, penanda betapa leganya hati.
Saat sedang sibuk pun saya selalu sempatkan membuka HP. Saya merasa bisa hancur hidup saya kalau karena alasan sibuk saya tidak sempat membuka HP. Maka, dalam keadaan apa pun dan dengan cara apa pun, saya tak pernah lalai membuka HP. Saking penting dan gak boleh ditundanya urusan ini, kadang saat mengendarai sepeda motor atau menyetir mobil pun saya sempatkan membuka HP. Saya tahu itu bahaya, tapi saya juga sadar bahwa ketinggalan info di HP lebih membahayakan nyawa saya. Salat pun saya percepat kalau saat salat HP yang saya taruh di arah sujud berdering atau kelap-kelip.
Semoga Al-Qur’an tidak cemburu, karena tidak saya istimewakan seperti itu. Jangankan saat sibuk, saat longgar pun saya kadang tidak membacanya. Apalagi sampai membacanya sambil mengendarai sepeda motor atau menyetir mobil. Itu gak pernah dan gak akan pernah saya lakukan. Itu bisa mengancam nyawa saya di jalan raya. Begitu juga saat saya sedang bicara dengan orang, gak mungkin saya mencuri satu dua menit untuk membaca Al-Qur’an. Saya bisa dianggap egois dan tidak menghargai sesama.
Saat membaca berita dan postingan-postingan medsos di HP, saya biasanya begitu fokus. Saya tidak hanya ingin menjadi orang pertama yang mengetahuinya, tapi juga menjadi yang paling paham isinya dan yang paling segera menyebarkannya kepada orang lain. Saya juga selalu ingin melepas komen-komen yang lebih keren dari yang ditulis orang lain, walaupun, demi itu, saya harus berulang kali mengeditnya dan untuk beberapa saat di HP orang tetulis ‘nama saya’ is typing…..
Semoga Al-Qur’an tidak cemburu, karena saya tidak sefokus dan sesemangat itu ketika membacanya. Biasanya, saat bibir saya membaca Al-Qur’an, hati dan pikiran saya beredar di urusan lain. Kalau HP saya tiba-tiba berdering, saya langsung beralih kepadanya dan meinggalkan sejenak Al-Qur’an di hadapan saya. Walaupun tidak beranjak dari hadapannya, tapi hati saya tentu saja sudah jauh meninggalkannya. Maka, ketika hajat per-HP-an saya selasai dan hendak kembali membacanya, sering kali saya lupa ayat terakhir yang saya baca saat HP berdering .
Ketika ada orang yang memberitahu saya tentang sesuatu info yang beredar di medsos, saya selalu ingin tahu lebih jauh dan lebih detail. Saya akan segera melacak info itu di HP sendiri sampai dapat. Kalau saya tidak menemukannya, saya minta orang tadi mem-forwad info itu ke nomor saya. Setelah membacanya sendiri, saya lalu mengomentarinya dan menyebarkannya ke grup-grup yang selalu saja saya yakin belum dapat info itu, atau menjaprinya ke orang-orang yang juga selalu saya yakini belum tahu info itu.
Semoga Al-Qur’an tidak cemburu, karena tak sebesar itu rasa ingin tahu saya tentang makna ayat-ayatnya. Kalau ada orang yang bicara tentang suatu ayat, saya biasanya langsung manggut-manggut tanda sudah paham. Nyaris tak ada keinginan saya untuk tahu lebih jauh dan lebih dalam tentang ayat tersebut kemudian melacak sendiri makna dan tafsirnya. Padahal, di HP saya ada applikasi Al-Qur’an lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya. Pokoknya, soal Al-Qur’an saya selalu qona’ah dengan apa yang disampaikan orang. Tidak pernah ingin tahu berlebihan. Prinsip saya, sesedikit apa pun ilmu itu harus disyukuri.
Sekali lagi, semoga Al-Qur’an tidak cemburu dengan apa yang saya lakukan. Walaupun sesungguhnya sangat beralasan ia cemburu. Ia mencintai saya dan siapa pun yang mengaku ummat Muhammad. Ia datang membawa rahasia-rahasia besar agar saya dan siapa pun bisa selamat di dunia kini dan di akherat kelak. Itu semua karena cintanya. Dan karena cinta inilah saya yakin di hatinya ada cemburu untuk saya saat layar sentuh ini lebih sering saya jamah ketimbang lembaran-lembarannya. Hanya saja, ego saya berharap ia tidak cemburu.
Semoga ia benar-benar tidak cemburu. Saya berharap begini bukan agar nyaman meneruskan apa yang saya lakukan ini. Tapi agar tetap ada cinta di hatinya tempat saya kembali. Di batas ego ini, saya ingin berhenti dari semua ini dan kembali kepadanya. Karena dialah layar keselamatan sejati. Bukan layar sentuh yang melalaikan ini. Kalau saya tidak berharap dia tidak cemburu, berarti saya yakin tidak ada cemburu di hatinya. Dan kalau tiada cemburu di hatinya, tiada pula cinta untuk saya di sana. Lalu, kemana saya hendak kembali?
Wallahu A’lam.