Kiai Ali dan Khidmah yang Melahirkan Berkah
@ rijal mumazziq z
Barakah alias berkah itu misterius. Tak terduga datangnya, tak disangka tumbuhnya. Ada yang mengabdi kepada umat dengan ikhlas, lalu keberkahan menyelimuti dirinya, kemudian merembesi putra putrinya. Ini yang setidaknya beberapa kali saya jumpai. Seorang muadzin di kota kecil di Jawa Tengah saban hari menempuh jarak berkilo meter guna melantunkan adzan 5 waktu. Dia niat mengabdi sebagai takmir. Tanpa gaji, tentu saja. Keberkahan meluberi putra putrinya yang tumbuh tanpa kebanyakan polah tingkah dan punya raihan prestasi dengan bukti sederet piala yang berjejer di rak. Keluarga kecil yang harmonis dan tenteram dengan putra putri yang manut, tanpa polah tingkah aneh-aneh, berprestasi, lagi.
Di Jombang, kalau tak salah ingat, ada seorang muadzin langgar kecil dengan cirikhas beduknya yang nyaris lapuk. Dia selama bertahun-tahun disiplin dengan jadwal adzannya, tak pernah telat lebih dari lima menit. Istiqamah. Begitu disiplin dia menjalankan pengabdian sebagai penabuh beduk mushalla, masyarakat belum berani berbuka puasa, kecuali setelah mendengar kumandang adzannya terlebih dulu, sungguhpun dari toa masjid desa sayup-sayup terdengar suara adzan. Ketika muadzin langgar ini wafat, putranya masih kecil. Di kemudian hari putranya terluberi keberkahan khidmah ayahnya, dia bisa menghafal al-Qur’an tidak lebih dari tiga bulan. Pengabdian ikhlas sang ayah dibalas oleh Allah dengan memudahkan anaknya belajar dan menghafal firman-Nya.
Di Situbondo, seorang ibu mengabdikan diri sebagai abdi ndalem di rumah ulama besar. Kabarnya, sambil memasak buat keluarga kiai tersebut, ibu ini mengkredit hafalan al-Qur’annya. Berkat keikhlasannya berkhidmah dan kecintaannya terhadap al-Qur’an, sang putra di kemudian hari menjadi salah seorang pakar ushul fiqh yang sangat dihormati.
Di Pati, ada seorang kiai kampung yang mengikuti lelaku mursyidnya, KH. Arwani Amin, Kudus. Laku yang cukup berat. Yaitu setiap jumat dia berkeliling ke desa-desa pelosok, berganti-ganti desa. Tujuannya mengecek kondisi masjid di pelosok, apakah masyarakatnya masih istiqamah berahlussunnah wal jamaah, bagaimana tajwid imamnya, dan bagaimana amaliahnya. Kalau masih ada yang kurang beres, dia mendampingi masyarakatnya, mengajari mereka mengaji, menjelaskan pasal-pasal thaharah, fiqhus shalat, fiqhun nisa’, dan fiqh terapan lain yang praktis. Kiai berpenampilan sederhana ini konsisten menjalani lelakunya, menjelajah pelosok saban jumat.
Selama berpuluh tahun dia menjalaninya dengan ikhlas. Dalam kondisi sakitpun, dia terkadang memaksa diri berangkat meninjau santri-santrinya di pelosok. Bahkan manakala sepeda motor bututnya rusak, dia memilih ngojek. Istrinya, Bu Hj. Fatimah, yang juga aktivis Muslimat NU, pernah mengingatkan agar mengurangi jadwal “jelajah jum’at”. Tapi dia hanya terkekeh, lalu kembali berangkat.
Baginya, santri-santri dusun–yang notabene seusia dirinya–lebih dia rindukan untuk dibimbing. Safinatun Naja adalah kitab favorit yang dia gunakan untuk mengajari santri-santri yang tersebar di berbagai desa. Sebuah kitab kecil dengan manfaat besar. Beliau memang tidak punya pesantren, tapi santrinya ada di berbagai desa. Ketika dirinya sakit, para anak didiknya yang ada di berbagai pelosok desa mendatangi kamar perawatannya di rumah sakit. Penjenguknya ratusan. Mereka mengendarai sepeda motor maupun bergerombol naik pikap, datang beramai-ramai menjenguk sang guru. Sebuah pemandangan yang membuat perawat kewalahan mengatur kunjungan yang terus mengalir. Sampai saat ini, KH. Ali Solichin, nama kiai penjelajah ini, masih sehat dan tetap menjalani rutinitasnya. Kini, selain tetap aktif keliling di pelosok, Kiai Ali juga menjadi Ketua Yayasan LUBER alias Mugi Lumintu Berkahe. Dikasih nama Jawa, artinya Semoga Keberkahan Selalu Mengalir. Walau bahasa Jawa, namun nama yayasan ini pemberian Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan.
Kiprah keummatan kiai berpenampilan sederhana itu mengalirkan keberkahan kepada putra-putrinya. Putri pertamanya hafal al-Qur’an, lulusan terbaik Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Wonosobo. Sekarang merintis pesantren di pelosok Kalimantan bersama suaminya yang juga penghafal al-Qur’an, dan aktif menjadi penggerak Fatayat NU di sana. Cucu Kiai Ali, Muhammad Abdul Qadir Syauqi Zaka Maula saat ini juga sudah hafal 30 juz. Mengkhatamkan hafalannya di Yanbu’ul Qur’an Remaja Kudus, Komplit.
Putranya nomor dua menjadi PNS di sebuah perguruan tinggi bergengsi, menjadi aktivis NU dan awal 2020 silam menjadi salah satu lulusan terbaik program S3 di satu kampus Islam terkemuka di Jawa Timur. Si bungsu, perempuan, juga menghafalkan al-Qur’an dan menjadi lulusan terbaik Universitas Sains al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo. Kini dia juga menjadi wirausahawati sukse.
Saya yakin, ketiga buah hati pejuang Islam di pelosok ini sekarang sedang senyum-senyum membaca tulisan saya ini, sebab saya bersahabat dengan mereka dan ketiganya sering njempal njempol di lapak fesbuk saya.
Anda bisa mengagumi mereka ini, bisa juga tidak. Tapi saya angkat topi buat mereka, khususnya ayah ibunya. Jika boleh menilai, keberhasilan anaknya di bidang masing-masing antara lain karena efek lelaku khidmah yang dijalani kedua orangtuanya yang menjadi teladan bagi putra-putrinya. Saya banyak menjumpai potret keluarga seperti mereka. Bapak ibunya hanya orang “biasa”, tapi putra putrinya terberkahi keistiqomahan dan lelaku orangtuanya. Ini, saya anggap, barokah.
Sebagaimana dulu Sayyidina Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu yang dianugerahi usia panjang dan berkah berikut keturunannya yang berlimpah, karena pengabdiannya sebagai abdi ndalem di keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, serta Sayyidina Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu yang selain memori otaknya yang luar biasa merekam ucapan, perilaku dan keputusan Rasulullah, juga memiliki menantu keren yang menjadi penghulu ulama di zamannya, Imam Said ibn Musayyib. Ada juga Imam Nafi’, bekas budak Sayyidina Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma yang memilih menjadi abdi ndalem beliau sekaligus menjadi murid kinasihnya. Keberkahan meluberi beliau-beliau. Sanad keilmuan para ulama fiqh Madzhab Syafi’i, dan merembet kepada jalur sanad keilmuan ulama Nusantara, antara lain menyambung melalui matarantai intelektual Imam Nafi’, maula Ibnu Umar. Benar-benar Khidmah yang melahirkah berkah.
Wallahu A’lam bisshawab
–Naskah ini termuat dalam buku saya yang InsyaAllah terbit Juni mendatang, Mata Air Keteladanan Ulama Indonesia–
(Repost, atas permintaan Mbak NDoro Ayu Solekhah )