Karomah yang nyleneh itu ada, tapi jangan dibelokkan menjadi kesimpulan aneh bahwa setiap kenylenehan adalah karomah

Penulis : Rijal Mumazziq Zionis

 

Soal kewalian, orang NU itu gampang banget menyebut si A, B, C sebagai wali. Apalagi kalau agak nyeleneh, biasanya dibilang majdzub, padahal majnun. Hahaha.
Di kalangan pecinta Habaib, juga dengan mudah menyebut habib D, E, F sebagai al-quthb. Di kalangan muslim modernis gampang menyebut G, H, I sebagai mujaddid, mujtahid, cendekiawan, dan gelar prestisius lain.

Di kalangan Wahabi Takfiri, gampang menilai J, K, L sebagai musyrik, kafir, murtad, dll hanya gara-gara perkara sepele. Wahabi Jihadi juga gampang banget melabeli kubunya sebagai mujahid, syahid, pasukan Panji Hitam yang disebut dalam riwayat, juga gampang menyebut di luar kelompoknya sebagai taghut, setan, la’natullah alaihi, kafir, halal darahnya, dll.
Ini gejala sampingan kok. Soal waliyullah, quthb apalagi ghauts, mujaddid, mujahid, dan asumsi takfir, tentu saya nggak gampang percaya.

Kalau ada sesama santri bilang kalau gurunya atau kiai A, misalnya, sebagai waliyullah, saya iyakan saja. Biar plong. Lega. Percaya? Tunggu dulu. Itu perkara lain. Toh, dipercayai atau nggak, identitas waliyullah itu urusannya sama Allah, bukan pada level dipercayai manusia. Level pengakuan duniawi ini nggak bakal mempengaruhi level ruhaniahnya di hadapan Allah.
Yang saya jumpai, ada beberapa orang yang memang ingin dianggap wali oleh pengikutnya. Biasanya memang menampilkan profiling pribadi yang “wow” secara penampilan, ditambah gelar-gelar agamis, disertai dengan cerita mistis dan ajaib, juga pada deretan keramat-keramat yang dimiliki. Uniknya biasanya orang-orang begini menggunakan teknik sulap, alat sulap, manipulasi penglihatan, gerak cepat tangan, juga mind-control.

Tak percaya? Kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi adalah contoh. Pengikutnya percaya kalau dia punya karomah menggandakan fulus, juga keajaiban lain. Selevel Marwah Daud Ibrahim, yang pendidikannya tinggi saja, menjadi pengikutnya. Sahabat saya, yang alumni pondok besar saja juga pernah terpukau oleh aksi pria itu, kok. Apalagi masyarakat awam.

Dan, kemudian terbukti, beberapa aksi “karomah”-nya menggunakan teknik sulap, didukung dengan peralatan canggih dan unik para magician. Perkakas begini banyak dijual di toko alat sulap, juga bisa dipesan ke toko daring, kok. Soal asumsi, itu bisa dipelajari menggunakan pendekatan psikologi.

Berkaitan dengan atraksi ajaib, itu bisa dilihat dari dua perspektif. Jika yang melakukannya adalah magician, maka disebut sulap dan dapat tepuk tangan hadirin, kalau yang beratraksi itu seseorang yang dikasih panggilan “kiai”, “syekh”, “habib”, “al-Imam”, oleh pengikutnya, maka pertunjukan itu disebut “karomah”.

Di channel YouTube, ada beberapa “Gus” yang melakukan aksi “magis”. Pakai gerakan ini-itu biar meyakinkan, tarik nafas, lalu hembuskan tenaga, dan kemudian botol air mineral di depannya berasap dan “meledak”. Diklaim sebagai tindakan membakar jin. Benarkah? Nggak. Ini teknik sulap menggunakan cairan kimiawi. Demikian pula dengan penyaluran tenaga dalam ke kertas, lalu kertas kosong tiba-tiba terbakar. Karomah? Bukan. Itu trik sulap. Silahkan beli kertasnya di penjual alat sulap. Murah meriah, kok. Masih banyak atraksi-atraksi lain yang secara kimiawi bisa dilacak. Wilayahnya masih fisika, bukan metafisika.

Teknik semacam ini dipakai untuk meyakinkan alam bawah sadar para pengikutnya kalau sang guru memang benar-benar wali–karena sudah kebelet diakui dalam maqom ini– atau minimal diakusi sebagai orang istimewa. Biar tidak menyinggung dan menyindir, cara yang digunakan oleh Sir Henry Blackwood dalam Sherlock Holmes (2009) dan Prof. James Moriarty dalam sekuel film ini adalah gambaran betapa perasaan dan alam bawah sadar manusia gampang ditaklukkan oleh sesuatu yang amazing.

Apakah saya tidak percaya waliyullah? Ya jelas percaya. Karomah? Tentu saja percaya. Tapi nggak usah gampang terpikat dengan segala sesuatu yang tampak memukau. Biasa saja. Kalaupun ada teman yang cerita kalau dirinya bertemu Rasulullah di alam mimpi, bahkan menjumpai Nabi Khidhir alaihissalam, ya diiyakan saja. Soal percaya, itu urusan lain.

Dalam istilah Kiai Ndezo Thok, “Karomah yang nyleneh itu ada, tapi jangan dibelokkan menjadi kesimpulan aneh bahwa setiap kenylenehan adalah karomah.”
Dari sini, saya tampak sebagai Nahdliyyin yang rasional ala Muhammadiyah. Khakhakhakha

Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *