Habib Hasan Baharun, Sifat Dermawan dan strategi dakwah

Secerah Mentari Sesejuk Embun Pagi (Habib Hasan baharun)

Rembulan putih sendu memancarkan ronanya, menepis kebisuan malam yang bisu. Bintang-gemintang bertaburan bak tiara bertatahkan mutu manikam. Udara dingin kian mengusik menusuk sudut-sudut tulang sumsum yang terdalam. Di kala jarum jam mulai menapaki sepertiga akhir malam. Seirama tetesan embun yang menghujani persada bumi bertaut dengan keheningan malam nan syahdu, menebarkan aroma surgawi, melewati celah-celah puncak kubah dan menara mesjid yang menjulang. Sebagai anugerah dari sang penguasa jagad raya. Menerima tamu agung yang bersimpuh di hadirat-Nya. Di trotoar pertigaan alun-alun, di depan Mesjid Agung Bangil Pasuruan, tampak para pengemis, gelandangan dan abang becak pulas dalam buaian impian mereka masing-masing. Meskipun hanya beralaskan bumi, berselimutkan angin malam dan beratapkan langit. Bahkan kepakan-kepakan sayap si kecil penghisap darahpun tidak mengusik mereka dalam menikmati pengembaraan di dunia bawah sadar.

Read More

Tak lama berselang datang merayap sebuah mobil mendekati mereka. Suaranya begitu rendah hingga hampir tak terdengar. Seorang laki-laki keluar dari kotak besi itu, sambil menenteng sebuah bungkusan. Satu persatu orang-orang yang terlelap itu disambanginya. Kemudian dia menaruh sesuatu di sisi mereka masing-masing. Lalu pergi meninggalkannya seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Hanya lampu-lampu jalanan yang menyaksikan peristiwa itu bersama rumput, semak belukar dan pepohonan perdu yang menghuni lapangan luas itu. Dan tentu saja Zat Yang Maha Mengatur lebih mengetahui apa saja yang terjadi di muka bumi.

Sementara itu, dalam keremangan cahaya lampu mobil, tampak seseorang dengan busana putih rapi duduk sendiri di dalam mobil. Sorban dengan warna senada melilit bertahta di kepalanya. Wajahnya bersinar memancarkan kewibawaan dari seseorang yang berilmu. Rupanya orang inilah yang menyuruh laki-laki tersebut untuk membagikan isi bungkusan yang dibawanya kepada penghuni malam.

Ilustrasi di atas merupakan satu di antara amaliyah yang kerap dilakukan Abuya Habib Hasan (panggilan untuk al habib Hasan bin Ahmad Baharun) yaitu memberikan shadaqah sir kepada kaum dhu’afa. Beliau digambarkan sebagai orang yang duduk di mobil. Sedangkan orang yang bertugas membagikan, tidak lain adalah sopirnya sendiri, yaitu Muh. Rodhi (Pukadi). Untuk keperluan ini, rata-rata beliau mengeluarkan uang sekitar satu juta rupiah sampai satu setengah juta setiap malamnya.

Tahulah kita betapa besar perhatian beliau terhadap kaum dhu’afa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan memang, agama Islam sangat menganjurkan hal yang demikian itu. Karena pada dasarnya manusia itu zoon politicon (meminjam istilah Aristoteles) yaitu makhluk sosial, yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Sekuat apapun dia, sekaya apapun dia pasti memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itulah sunnatullah. Bukankah seseorang itu disebut kaya karena ada yang miskin, disebut kuat karena ada yang lemah, disebut pandai karena ada yang lemah dan begitulah seterusnya. Ini merupakan realita kehidupan yang tidak bisa dibantah dan dipungkiri. Setuju ataupun tidak begitulah adanya.

Kalau kita bicara dalam konteks ukhwah Islamiyah maka hal ini akan lebih bermakna. Ukhwah Islamiyah sendiri bisa didefinisikan sebagai rasa persaudaraan yang dilandasi persaman aqidah dan keyakinan. Pengertian ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam al Qur’an :

إنَّمَـاالـْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
Hanyalah orang-orang beriman itu bersaudara

Maka segala perbuatan sosial yang berkaitan dengan kemasyarakatan yang kita lakukan hendaklah mengutamakan saudara kita. Sehingga bisa diharapkan, kita menjadi ummat yang unggul baik secara aqidah, ekonomi, pertahanan dan lain sebagainya. Dari sinilah loyalitas kita terhadap ajaran agama menjadi tampak. Rasulullah SAW bersabda:

لاََيُؤْمِنُ أََحَدُكـُمْ حَتىَّ يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفسِه
Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga dia mencintai Saudaranya sama seperti mencintai dirinya sendiri.

Hadits ini mengaitkan antara kesempurnaan iman dengan kecintaan terhadap sesama muslim. Bukan hanya sekedar ucapan cinta, tapi yang lebih utama adalah pembuktian rasa cinta itu dalam kehidupan. Misalnya dengan membantu meingankan beban hidup mereka. Karena cinta tanpa bukti tak lebih dari fatamorgana dan hiasan bibir semata. Kepedulian kepada sesama muslim ini menjadi barometer sejauh mana kesempurnaan iman seorang muslim. Semakin peduli dia terhadap saudaranya, sejauh itu pula kesempurnaan imannya. inilah yang ingin diajarkan al habib Hasan Baharun kepada semua muridnya.

Pada tahun 1966 beliau merantau ke Pontianak dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islamiyah. Ketika beliau memasuki suatu daerah, yang pertama kali dilakukannya adalah bersilaturrahmi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, kemudian meminta izin agar diperbolehkan berdakwah di sana. Berbekal budi pekerti yang mulia dan tutur kata yang santun akhirnya masyarakatpun menaruh simpati, bahkan mendukung apa yang beliau usahakan.

Yang unik dari cerita dakwah beliau di daerah ini, setiap kali berdakwah beliau selalu membawa seperangkat alat pengeras suara (sound system) karena sarana ini sangat langka ketika itu di Pontianak. Sehingga masyarakat yang mengundangnya tidak akan kerepotan mencari peralatan sound system. Dan tak lupa pula, beliau selalu membawa satir/tabir untuk menghindari terjadinya ikhtilat (percampuran antara jama’ah laki-laki dan perempuan). Ikhtilat dengan orang yang bukan mahrom adalah suatu perbuatan maksiat. Menurut beliau, hidayah Allah tidak akan turun di tempat yang terjadi kemaksiatan di sana. Apalagi dalam berdakwah, hidayah Allah merupakan tujuan atau ruhaniyah diselenggarakannya kegiatan tersebut.

Inilah bentuk lain dari kepedulian beliau terhadap sesama muslim. Bukan hanya segi lahiriyah saja yang beliau perhatikan, tapi segi batiniyahpun tidak dilupakan. Bahkan segi yang kedua inilah yang lebih memerlukan perhatian ekstra. Seseorang yang tidak tercukupi kebutuhan lahirnya (fisik), paling banter dia akan yang serba sulit penuh dengan tuntutan, tapi segera berakhir jika ajal telah menjemput. Tetapi kekurangan kebutuhan batin (spiritual) akan menjadikan kehidupannya sengsara. Bukan hanya di dunia bahkan akan terus berlanjut sampai di akherat kelak. Naudzu billah . Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيـْرٍ فَلَهُ مِثـْلُ أَجْـرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.

Dan lagi sabdanya :

مَنْ لاَيَهْـتَمَّ بِأُمُوْرِ الْمُسْـلِمِيْنَ فَلـَيْسَ مِنَّا
Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka bukan dari golongan kami.

Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *