Owner Alfa Reyhan dalam Kenangan
(In Memoriam Habib Hamid Assegaf)
Kang Tohir
Meski telah lama mengikuti perkembangan info sakitnya, saya tetap merasa kaget dan terpukul saat pagi tadi mendengar kabar Habib Hamid Assegaf (HHA) telah wafat. Lebih-lebih karena kemarin ada sahabat alumni dari luar pulau yang juga meninggal dunia. Keduanya sama-sama masih tergolong muda usia. Perkiraan saya masih kisaran 46- 48.
Dua hari berturut-turut dua orang yang saya kenal dan mengenal saya terlebih dulu “sowan” kepada penciptanya. Pertama, sahabat Sahiri (nama Fb-nya Sachirie Elrumi dan Sahiri Mb, kebetulan kita tidak berteman di dunia maya). Kedua, HHA.
Keduanya memang satu almamater dengan saya, lebih tepatnya kakak tingkatan saat kuliah.
Dengan almarhum pertama memang saya tidak terlalu lama bergaul. Sehingga tidak banyak kenangan dengannya. Sebab selang beberapa saat setelah rampung kuliah, dia “boyong”. Sementara saya tetap di pesantren karena khidmah.
Sedangkan dengan HHA, kami berkhidmah di pesantren hingga saat ini. Tentu banyak cerita suka duka yang menghiasi memori saya.
Beberapa hari lalu memang ramai berita sakitnya HHA di group WA alumni. Meski sebagian orang pesimis dengan perkembangan kondisinya, saya masih optimis menunggu kabar baik tentangnya. Info terakhir yang sampai pada saya, oksigen darahnya turun hingga 60. Padahal normalnya antara 75-100 mmHg (milimeter air raksa). Tidak boleh lebih atau kurang dari itu.
Beberapa orang yang memiliki keluarga dengan keluhan sama mengatakan bahwa HHA termasuk kuat untuk bisa bertahan dalam kondisi seperti itu. Mendengar hal itu, saya pun berharap ada keajaiban yang membuatnya kembali sehat seperti sedia kala.
Tapi ternyata, Allah berkehendak lain. Di hari Jumat yang penuh berkah ini, akhirnya dia dipanggil oleh-Nya. Inna Lillahi Wainna Ilaihi Raji’un.
Sependek pengetahuan saya, HHA adalah sosok yang cerdas. Tampak dari prestasi akademik (baik diniyah maupun jamiah) yang dia raih. Dia pernah menjabat sebagai ketua pertama organisasi intra pesantren, ORSADA (Organisasi Santri Dalwa). Saat ini dia juga masih mengemban amanah sebagai wakil ketua alumni pusat Al-Hasaniyyah.
Sebagai angkatan pertama IAI Dalwa (yang saat itu masih berstatus STAI), HHA dan beberapa teman yang dinilai potensial untuk pengembangan lembaga diproyeksikan oleh pimpinan untuk menjadi dosen tetap. Sebagai konsekuensi, dia rela melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana pada lembaga yang sama di selah-selah kesibukan berkhidmah di pondok.
Lebih dari itu, kecerdasan dalam dunia usaha pun dimilikinya. Insting bisnisnya tajam. Dia termasuk pelopor usaha bidang garmen di antara alumni.
Ceritanya, saat masih bujang, sekitar tahun 2000-an, dia mendatangkan kain kiloan dari Cirebon untuk dijual di pondok. Waktu itu asrama guru yang menjadi lapak sementara. Pangsa pasarnya hanya santri dan beberapa kolega yang mengenalnya.
Karena keterbatasan modal, HHA pun menawarkan peluang investasi kepada teman-teman sesama pengkhidmah di pondok, termasuk saya. Nilai saham yang ditawarkan saat itu minimal 500.000.
Lambat laun usaha yang diawali dengan berjualan kain kiloan itu berubah menjadi konveksi kecil-kecilan. HHA mulai memproduksi busana muslim pria, termasuk gamis yang memang menjadi seragam pesantren. Hingga pada akhirnya produknya mulai beredar di luar wilayah Bangil dan Pasuruan. Bahkan dikenal oleh kalangan alumni yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
HHA pun memiliki merk sendiri untuk produknya, Alfa Reyhan. Nama ini memiliki arti seribu wewangian. Kata yang lebih tepat untuk merk produk atau toko minyak wangi ketimbang baju koko.
Tapi, pemilihan nama ini ada “asbabul wurudnya”. Alfa Reyhan adalah nama “muallaf” untuk kata Parean. Nama sebuah desa tempat kelahiran HHA yang terletak di wilayah kecamatan Kandanghaur, kabupatèn Cirebon Jawa Barat.
Hingga saat ini, usaha konveksi ini masih beroperasi. Dan semoga tetap maju sepeninggalnya. Amin
Selain itu, HHA adalah sosok yang low profil, humble dan ramah. Meskipun dari kalangan asyraf/dzurriyah (keturunan Rasulullah), HHA tidak pernah pilah-pilih dalam pergaulan. Dia senantiasa hormat pada seniornya atau orang yang lebih tua darinya. Mungkin karena itulah, jaringan bisnisnya cepat meluas dan berkembang.
Bahasa komunikasinya bagus, selera humornya tinggi dan supel. Selama hampir empat tahun satu kamar dengannya, sekitar tahun 2000-2004, saya tidak pernah mendapatinya berseteru dengan salah satu penghuni asrama guru.
Secara pribadi saya banyak berhutang jasa pada HHA. Dialah orang yang pertama kali mengajari saya bisnis dengan berjualan baju dan kain.
Awal-awal setelah menikah HHA mengontrak rumah di sekitar pondok. Saat liburan Ramadhan, HHA dan keluarga mudik. Otomatis rumah yang sekaligus menjadi tempat usahanya menjadi kosong. Saya yang saat itu masih Jones (jomblo renes) diberi kesempatan “magang” melayani pelanggan dan melakukan administrasi keuangan. Hal ini berlangsung beberapa lama. Saya pun mendapat pengalaman serta pelajaran yang saya amalkan hingga saat ini.
Dus, jaringan bisnis HHA hingga ke negeri Champa menjadikannya orang pertama yang menfasilitasi saya untuk mengenal sekaligus menikmati suasana di luar negeri. Saya didelegasikan untuk impor busana muslim pria produk Vietnam.
Karena hubungan baik inilah, seringkali saya mendapat kelonggaran pembayaran saat mau “nyales” (menjadi sales) untuk memasarkan produknya.
Akhirnya, cukuplah cerita singkat ini sebagai saksi bahwa dia tergolong orang saleh. Saya hanya bisa berterima kasih atas kebaikannya seraya berucap “Selamat jalan habib. Selamat berjumpa dengan Abuya Habib Hasan Baharun dan datuk-datukmu yang mulia. Teriring doa semoga keluarga yang engkau tinggalkan diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk melanjutkan perjuanganmu”. Amin walahul fatihah.
11 September 2020
Kredit: Gambar kenangan bersama HHA di acara pelantikan pejabat baru di kampus IAI Dalwa (20/1/20).