Cerpen, Namanya Uwin, Dr Nasaruddin Idris Jauhar

ini adalah cerita dari kehidupan Ust Nasaruddin Idris Jauhar

NAMANYA UWIN

Read More

Nasaruddin
Ini cerita tentang seekor burung perkutut. Saya dan anak perempuan saya memberinya nama Uwin. Kami namai Uwin, karena ia saya temukan di kampus tempat saya ngajar, UIN Sunan Ampel. Ia jatuh dari sarangnya saat hujan angin.

Sekitar tiga tahun silam, di sebuah siang yg basah usai hujan lebat, seorang teman dosen berteriak memanggil saya yang sedang berjalan tergesa di tengah rintik.
“Kebetulan Ustad lewat” ucapnya dengan mimik lega.

“Ada apa, Ustad?” timpal saya.

“Ini ada anak burung jatuh dari pohon saat hujan deras tadi” ujaranya sambil menunjukkan seekor anak perkutut yang menggigil di tangannya.

“Mau tak saya ambil, khawatir mati. Mau saya bawa pulang, kahwatir mati di jalan. Nah, kebetulan Antum lewat, bawalah ini pulang. Antum rawat” ujarnya sambil menyodorkan anak burung itu.

Saya tak punya pilihan selain menerima amanat merawat anak burung itu. Kebetulan, saya juga suka jenis perkutut. Teman saya itu sebenarnya seorang suhu perkutut. Di rumahnya di Blitar sana, ia punya peternakan perkutut kelas nasional yang harganya bisa sampai puluhan juta seekor. Tapi, itu tadi, ia tidak berani membawa pulang anak perkutut temuannya itu karena takut mati di tengah jalan. Mungkin oleh dinginnya AC bis Surabaya-Blitar yang hampir 5 jam itu.
Anak burung itu akhirnya saya rawat sampai dewasa. Karena disuapi tiap hari, ia jadi jinak. Suaranya juga saya suka: melengking dan panjang. Tapi, entah bagaimana ceritanya, suatu hari ia raib dari sangkar. Hilang tanpa jejak. Semua tetangga yang punya perkutut saya tanyai, tapi tak ada yang tahu. Saya sedih. Anak saya juga ikut sedih, kehilangan Uwin-nya.

Selang beberapa hari, burung itu kembali. Ia bertengger di tembok belakang rumah. Walaupun tidak ada ciri khusus, saya langsung mengenalinya. Yang bikin saya yakin ia tampak akrab. Saya dekati, ia tidak terbang. Saya acungkan petikan jari, ia jawab dengan suara dan anggukan. Burung liar tidak mungkin seakrab itu.

“Teko endi waeh awakmu, Le?” sekonyong-konyong saya menyapanya, sambil berharap dia paham betapa saya kehilangan dia. Tapi hanya dia jawab dengan tatapan. Saya agak menyesal, kenapa dulu ia tidak saya ajari bicara. Hehee..

Sejak itu, hampir tiap pagi ia datang. Bertengger di atas tembok dan melepas bunyi khasnya. Anak saya sering memberitahu kedatangannya. “Bii, Uwin datang” sambil menunjuk ke atas tembok. Seperti biasa, saya menyapanya dengan petikan jari. Seperti biasa juga, ia jawab dengan anggukan.

Suatu hari, ia datang berdua. Ia membawa seekor perkutut lain. Saya langsung berpikir, kayaknya ini tunangannya. Ia mungkin datang sowan ke saya untuk mengenalkan tunangannya sekaligus minta restu. Juga untuk menunjukkan kepada tunangannya siapa bapak angkatnya. Hehee.
Pasangannya itu juga jinak. Ia tidak terbang kalau kelihatan saya, atau bahkan kalau saya mendekat. Mungkin sudah diajari oleh si Uwin agar gak usah takut sama bapak mertua… Hehee.
Setelah itu, dia tetap rutin sambang pagi. Kadang sendiri, kadang berdua. Sampai kemudian, setelah beberapa lama, ia datang bertiga. Ada perkutut lain yang ukurannya agak kecil yang ikut dengannya. Sy langsung paham itu anaknya. Di atas tembok rumah saya itu, ia sering terlihat menyuapi anaknya. Luar biasa si Uwin. Sudah berkeluarga dan sudah punya anak pula.
Anaknya ini pun jinak. Tidak panik kalau kelihatan saya. Mungkin oleh si Uwin sudah diajari agar tak usah takut sama Embah. Hehee.

Burung memang makhluk-Nya yang istimewa. Al-Qur’an pun menyampaikan sebagian pesan dan risalahnya melalui fabel dan tamsil burung. Demikian juga si Uwin ini, minimal buat saya. Ia telah mengajari saya banyak hal. Terutama bagaimana menjaga silaturrahmi dengan orang tua.
Tidak sedikit anak zaman ini yang lupa dengan orang tua dan rumah tempat ia dibesarkan. Lupa dalam arti jarang pulang dan jarang komunikasi. Ketika sudah berkeluarga, orang tua kadang dilupakan. Istri/suami dan anak tidak diakrabkan dengan mereka. Tidak seperti yang dicontohkan oleh si Uwin.

Ah, ini mungkin berlebihan. Tapi, semoga saja tidak. Wallahu A’lam.

Jangan Lupa Share klik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *