Perempuan Tangguh, Kebahagiaan tidak bisa ditukar dengan nilai uang.

Alhamdulillah, hari ini terlewati dengan baik. Perempuan-perempuan sederhana teman bekerja sehari-hari itu justru menjadi penyemangat tersendiri. Mereka bahkan tidak mengeluh harus bekerja di tempat yang tidak memenuhi syarat. Nia menunggui dapur sembari mengoles kaastangels. Sumi menguasai meja mencetak adonan. Meja tamu pendek, ia duduk di atas kursi plastik kecil. Saya, Lina dan Mila duduk melantai, mengerjakan adonan nastar coklat. Mbak Titin bolak-balik mengurus kue-kue yang sudah matang.

Semua pesanan luar kota terkirim dengan tanpa kendala. Beberapa pesanan dijemput abang ojol, semua dapat beras seperti biasa. Target kue yang harus selesai per hari tentu harus diturunkan, tapi ini sudah lebih baik daripada tak ada hasil sama sekali.

Perempuan-perempuan ini bekerja sambil bercanda, seakan-akan tiga hari yang lalu tak terjadi apa-apa. Hari di mana wajah mereka dipenuhi rasa cemas, tangis mereka berderai bercampur jerit ketakutan. Kami paling pertama keluar meninggalkan dapur, tapi saya tahu apa yang membuat perempuan-perempuan ini menangis. Bukan menguatirkan nyawa mereka. Empat dari mereka adalah saksi bagaimana saya membangun dapur ini hari demi hari. Mereka tahu betul bagaimana perjuangan perempuan sipit ini, menghimpun kepercayaan pelanggan tapi selalu keras mendidik mereka. Yang kalau marah bisa cukup mengerikan tapi yang juga punya cinta meluap-luap untuk dibagikan kepada siapa saja. Perempuan aneh yang bermimpi secepatnya kaya raya tapi tak pernah sanggup melihat orang susah dan membagi apa yang dipunyainya tanpa berpikir panjang. Pertanyaan yang mereka kerap tujukan dengan wajah kuatir; Ibu… kalau kue itu dibagi-bagikan, ibu dapat apa?

Saya mendapat banyak kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan nilai uang.


Kamis itu saya pulang saat petang. Sebuah pesan masuk sesaat saja setelah saya posting di laman ini bahwa kami semua baik-baik saja dan ruko lantai 2 butuh renovasi. Api menjalar lewat balok penyangga dan plafon telah runtuh menjadi kepingan.

Sebuah pesan masuk tanpa basa-basi. Sebuah skrinsyut transferan sejumlah uang berikut pesan setelahnya; Turut berduka cita, Kak Mimi. Aku bantu untuk perbaiki atapmu.

Beberapa jam sebelumnya saya ada di antara abang-abang ojol yang kelelahan mengangkuti barang-barang dari dalam toko yang masih dipenuhi asap. Seorang driver saya lihat dikerubuti teman-temannya, ada yang prihatin, ada pula yang meledek. Driver ini berada di warung Lazuna pas kejadian, lalu suara ledakan keras membuatnya berlari keluar meninggalkan ponselnya. Setelah ia entah pergi ke mana dengan rasa sedih, kawan-kawannya masih membincangkan soal ponsel yang naas itu.

Saya sedang berjongkok di dekat mereka. Belum bisa mencerna baik apa yang terjadi dan bagaimana saya harus menghadapi hari itu. Lalu saya berdiri dan berkata pada seseorang dari mereka.

Nanti kalau keadaan sudah tenang, driver tadi suruh cari saya. Saya coba usahakan pengganti ponselnya.

Saya belum tahu bagaimana teknisnya. Apa saya akan menjual dengan gaya akrobat secara kami tak bisa lagi membuka pintu toko? Apakah saya minta bantuan orang lain membeli kue lalu uangnya saya gunakan untuk mengganti ponsel si driver? Ataukah untuk urusan seperti ini saya harus mengeluarkan dari kocek sendiri sebab si driver tentu tak bisa menunggu lama sebab ponsel itulah sumber mata pencahariannya?

Dan transferan ibu di Jakarta petang itu, pelanggan saya yang bahkan belum pernah saya jumpai di dunia nyata, seperti jawaban dari celetukan saya. Saya bertanya apakah boleh saya menggunakan uang itu untuk membelikan si driver sebuah ponsel? Ibu bilang baiklah. Saya menangis, baru bisa menangis setelah seharian seperti orang linglung. Ibu membalas; Menangislah. Tuhan kadang-kadang bercanda dengan caraNya.

Lalu jumlah uang untuk mengganti ponsel yang hangus itu masih kurang sedikit. Di hari berikutnya seorang sahabat membayar pesanan kuenya, melebihkan banyak dengan tujuan untuk disalurkan kepada driver. Sahabat ini salah satu donatur yang paling setia mengirim pembeli beras untuk driver. Ia berkata; Saya titip zakatku. Mau kau jadikan apa saja, silakan. Mau kau tambahkan untuk membeli ponsel si driver yang ponselnya hangus itu juga boleh…

Maka kalau kalian lihat driver bernama Farhan ini dengan ponsel baru, persis ponselnya yang hilang, itu semata-mata karena kemurahan hati orang-orang baik yang entah bagaimana bisa jatuh percaya kepada saya. Dan tentu saja Allah. Bagaimana Allah merespon begitu cepat setiap kesulitan yang coba saya tanggung, bagaimana Allah mengambil alih dengan cara yang begitu hangat.

Farhan memang tak pandai tersenyum saat difoto. Tapi saya saksi dari senyumnya yang penuh kelegaan saat tadi pagi datang dan saya suruh ia pergi menjemput sendiri ponselnya di toko seorang kawan. Saya balas tersenyum dan bilang; Rejekimu, Farhan. Baiknya Allah.


Kami mengobrol di ruang tamu; saya, Nita dan Hilmi, bercerita soal kesulitan-kesulitan saya hari ini sekaligus bagaimana keajaiban selalu datang bahkan di hari-hari yang kita pikir berat untuk dilalui.

Saya berkata bagaimana saya tidak pernah berpikir tengah menanam benih apapun untuk dituai di kemudian hari, tetapi saya seperti selalu diingatkan bahwa sudah terlalu banyak hal baik datang dalam hidup saya dan sudah semestinya saya bagikan kembali sebab untuk menikmatinya seorang diri, semua hal itu terlalu banyak.

Pujian datang bertubi-tubi di antara sesekali sindiran bahwa saya yang penuh riya, kadang terasa terlalu berlebihan. Padahal semua yang saya lakukan hanyalah bentuk terima kasih pada hidup, semesta dan terutama Sang Pencipta. Semua pujian itu bukan harusnya ditujukan kepada saya, tapi kepada Dia yang memberi saya hati yang bisa kuat sekaligus begitu lemah dalam waktu yang bersamaan.

Lalu Nita menyebut lagu Hindia, menyentil liriknya. Hilmi memutarkannya dan saya menghayati bait-baitnya.

Telah kusadar hidup bukanlah
Perihal mengambil yang kau tebar
Sedikit air yang kupunya
Milikmu juga bersama

Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?

Cukup besar ‘tuk mengampuni
‘Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?

(Hindia- Membasuh)


Sedikit air yang kupunya, milikmu juga bersama…



Cerita menggugah hati ini dari https://www.facebook.com/mimihilzah/posts/10218180244351224

https://www.facebook.com/mimihilzah



Jangan Lupa Share klik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *