Khilafah, Negara Islam dan Pancasila
Hasil wawancara dengan saya (rijal mumazziq z) ini dimuat tim redaksi di Majalah Al-Ittihad milik PP. as-Sunniyyah Kencong Jember, edisi 55/th. XVIII/1422 H.
Menurut anda apa sebenarnya khilafah itu?
Secara etimologi, khilafah berasal dari kata khalafa, artinya menggantikan atau menempati posisi. Sedangkan secara istilah, Imam al-Mawardi memaknai khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum dalam wilayah agama dan dunia sebagai pengganti Nabi Muhammad (ri-asatun ‘ammatun fi amrid-din wan dunya khilafatun ‘anin-Nabiy shallallahu ‘alaihi wasallam). Karena itu, pengganti Rasulullah disebut dengan khalifah, dan yang paling terkenal tentu saja al-Khulafa’ Ar-Rasyidun.
Karena konsep kepemimpinan itu senantiasa dinamis mengikuti alur zaman dan konteks sosial politik yang melingkupinya, maka pola pemilihan pemimpin yang sebelumnya bisa berlangsung dengan beberapa versi, seperti musyawarah antar Muhajirin dan Anshor di Tsaqifah Bani Sa’idah yang menghasilkan kompromi politik dengan mengangkat Sayyidina Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah) Rasulullah.
Lalu menggunakan penunjukan sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya. Dipilih melalui tim formatur sebagaimana yang dialami Sayyidina Utsman bin Affan, maupun dipilih secara langsung dan massif oleh rakyat sebagaimana dialami oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Coba dilihat, macem-macem kan? Namun ketika kepemimpinan umat beralih ke tangan Sayyidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka berubah menjadi kerajaan. Ana Awwalul Muluk, kata Sayyidina Mu’awiyah. Jadilah teokrasi. Dinasti politik. Kepemimpinan diwariskan berdasarkan genetika, ke anak cucu dan seterusnya. Akhirnya jadi dinasti. Pasif, dan tidak lagi dinamis seperti era khalifah empat.
Jadi saya kita pemahaman kayak begini ini, yaitu melalui bahasa dan aspek kesejarahan yang harus kita awali untuk lebih jelas membahas khilafah.
Bagaimana pandangan anda tentang khilafah?
Menurut saya khilafah itu memang bagian dari peradaban Islam. Bagian dari sejarah. Ini nyata, dan harus diakui, termasuk ketika Turki Utsmani runtuh. Itu juga bagian dari sejarah, lho. Namun, ketika sudah tidak ada lagi kekhalifahan yang ada, maka siyasah alias politik ini terus berkembang. Dan, umat Islam yang tinggal di berbagai wilayah bebas mengembangkan sistemnya masing-masing, tidak harus sama persis dengan kekhalifahan yang telah ada sebelumnya.
Misalnya, Maroko, Brunei Darussalam dan Saudi Arabia bercorak mamlakah (kerajaan), ada juga ke-amir-an seperti di Uni Emirat Arab, juga ada yang modelnya kayak Pakistan dan Iran yang mengklaim diri sebagai Republik Islam, juga ada yang kayak Malaysia dan Indonesia yang tidak mau menjadi “negara agama”, melainkan “negara beragama” atau bukan “Negara Islam” tapi “Negeri Muslim”.
Ini bagian dari Ijtihad politik masing-masing umat Islam di kawasannya? Sah-sah saja. Malah menarik, sebab ekspresi politik kenegaraan alias Siyasah Dusturiyah-nya berbeda-beda.
Kalau sekarang ada kelompok yang hendak mendirikan khilafah, bagi saya aneh. Mereka terjebak pada romantisme historis. Padahal zaman terus bergerak dinamis. Kalau dulu khalifah menjadi pusat kekuasaan, secara politik, intelektual dan spiritual, sekarang kekuasan sudah dipecah dalam wujud eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ada mekanisme check and balance di antara ketiga lembaga tersebut, dan masa jabatan dibatasi, tidak lagi absolut.
Lagi pula, sampai saat ini mayoritas negara berpenduduk muslim menolak konsep negara khilafah yang sejak awal ditawarkan dan diperjuangkan oleh Syekh Taqiyyudin An-Nabhani itu. Bagi saya hidup itu kudu realistis. Nggak usah muluk-muluk mendirikan khilafah, jika sampai saat ini saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak mampu mewujudkan satu pun kampung ideal versi mereka. Awali dulu membentuk komunitas terkecil yang bisa melaksanakan cita-cita An-Nabhani, lalu berpikir soal negara.
Manusia memang aneh. Sering berpikir mau mengubah dunia, tapi dia sendiri gagal mengubah dirinya menjadi lebih baik. Hahahaha. Kan begitu kata Leo Tolstoy, sastrawan Rusia itu?
Sebenarnya apa substansi dari gagasan khilafah tersebut?
Baik Hizbut Tahrir maupun ISIS (Islamic State in Iraq and Syam) itu ingin umat Islam bersatu di bawah naungan khilafah. Mereka pengen kayak zaman Khulafa’ Ar-Rasyidun atau era kekhalifahan. Masalahnya, sekarang siapa yang ditawarkan jadi khalifah? Abu Bakar al-Baghdadi yang ditawarkan ISIS, atau Raja Salman (Arab Saudi), Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei) atau Pak Ismail Yusanto (juru bicara HTI) atau yang lain? Siapa di antara mereka yang mau, juga umat mana yang mau membaiat mereka? Belum lagi mekanisme pemilihannya, pakai cara apa? Konstitusinya menganut versi siapa, HT? ISIS? Atau kombinasi?
Buru-buru mikir khilafah, OKI alias Organisasi Konferensi Islam yang menghimpun negara-negara muslim saja lebih banyak nggak kompak dalam menyikapi isu sensitit umat Islam, seperti Palestina, Chechnya, Suriah, Rohingnya, dan seterusnya.
Apakah khilafah bisa ditegakkan di Indonesia?
Kalau saat ini, nehi, no, nggak bakal bisa. Alasannya, pertama, selama NU dan Muhammadiyah masih bergerak aktif menjadi benteng konstitusi dan moral Indonesia, cita-cita pengasong gagasan khilafah tidak akan pernah terwujud. Kedua organisasi ini berdiri sebelum Indonesia merdeka dan perwakilan keduanya, yaitu KH. A. Wahid Hasyim (NU) dan KH. Prof. Kahar Muzakkir (Muhammadiyah) terlibat dalam penyusuhan konstitusi Indonesia. Apakah mungkin seorang ibu akan membunuh anaknya? Mustahil, kan? Demikian logikanya.
Kedua, selama NU dan Muhammadiyah masih fokus pada pelayanan keummatan di bidang pendidikan dan sosial keagamaan, insyaAllah Indonesia masih baik-baik saja. Mengapa? Sebab di puluhan ribu lembaga pendidikan milik dua ormas ini, cita-cita Indonesia sebagai sebuah rumah bersama, sebagai sebuah negara Pancasila, masih terus dipelihara.
Ketiga, ada ciri unik dari ulama Indoenesia. Semakin sepuh usianya, semakin giat mengkampanyekan NKRI sebagai sebuah pilihan terbaik. Contohnya, Habib Lutfi bin Yahya, KH. Maimoen Zubair, KH. A. Mustofa Bisri, Abuya Muhtadi, dan banyak lain. Ini karena beliau-beliau menginginkan umat Islam yang mayiritas ini bisa menjadi rahmatan lil alamin, bukan hanya rahmatan lil muslimin.
Bagaimana Pancasila, apa tidak bertentangan dengan khilafah?
Ini pertanyaannya kurang galak nih, hahahaha. Bukan “Apakah Pancasila tidak bertentangan dengan khilafah?” melainkan, “Apakah Pancasila tidak bertentangan dengan Islam?”
Pola pertanyaan dengan mempertentangkan dua obyek yang tidak selevel ini modus cuci otak. Orang Wahabi biasanya pakai pertanyaan, “Pilih mana, pendapatnya ulama atau Rasulullah?” atau “Pilih mana, pendapat kiai atau hadits Nabi?” dan seterusnya.
Dulu orang Darul Islam juga bergerak menyasar anak muda Islam yang ghirahnya tinggi namun unyu-unyu itu dengan pertanyaan jebakan, “Pilih mana, al-Qur’an atau Pancasila dan UUD 45?”
Sekarang, pengasong ideologi khilafah juga menggunakan pertanyaan jebakan ini untuk menggat korban. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Pertama, saya ingin mengutip pendapatnya KH. Mahrus Aly, Lirboyo, bahwa NU tidak ada impian apalagi mendirikan negara Islam. NU tetap mempertahankan negara Pancasila sampai akhir zaman. Komentar beliau ini diucapkan tahun 1960-an dan relevan sampai hari ini.
Yang kedua, menurut KH. Achmad Siddiq (Rais Aam Syuriah PBNU 1985-1991), Pancasila bukan agama, bukan pengganti agama, dan tidak dapat diposisikan sebagai pengganti agama. Di sini jelas kan, kalau Pancasila tidak bisa dikonfrontasikan dengan Islam, karena nggak level. Pancasila buatan manusia, Islam adalah agamanya Allah.
Kita harus bersyukur memiliki Pancasila yang menjadi konsensus kebangsaan sehinga bisa diterima oleh semua komponen bangsa. Tentu, silah pertama dan terakhir juga memiliki landasan etik di dalam al-Qur’an. Digoleki dalile, ono kabeh. Jawaharlal Nehru, pemimpin bangsa India itu kagum karena kita punya Pancasila yang bisa mempersatukan anak bangsa yang berbeda ini.
Para ulama Afganistan tahun 2013 kemarin juga datang ke PBNU lalu diajak ke UGM. Untuk apa? Belajar soal Pancasila. Mereka ingin negaranya punya ideologi pemersatu kayak Pancasila ini.
Mungkinkah khilafah bisa ditegakkan melalui proses demokrasi?
Ya bisa saja, asal HTI yang dibekukan oleh pemerintah itu ikut Pemilu, jadi partai politik. Kan jantan, tuh! Hahaha. Uji ketahanan publik. Jadi nggak cuma koar-koar saja, tapi ikut bertarung dalam sistem demokrasi di Indonesia. Gentle! Tapi, tentu saja mustahil, wong bagi mereka sistem demokrasi ini kufur, kok. Sistem taghut, kata mereka. Nggak apa-apa dituduh begitu. Santai saja. Mereka Hizbut Tahrir, kalau kita Hizbut Tahlil alias tukang tahlilan, mungkin juga Hizbut Takjil alias suka makan takjil ramadan, hahaha.
Bagaimana menurut anda pendapat sebagian kalangan yang mengatakan ide khilafah bisa mengancam NKRI?
Ya tentu saja mengancam. Makanya kita itu umat Islam kalau pengen ayem, menjadi mayoritas yang menyayomi, mayoritas yang berkualitas sebaiknya ikut dawuhnya Mbah Moen (KH. Maimoen Zubair), yaitu ikut PBNU, alias singkatan dari Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Lho, pas kan? Kalau sudah menerapkan PBNU tadi dalam konsep berbangsa dan bernegara, enak.
Sebab tujuan kita adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (QS. Saba’ 15) serta menjadi sebuah negara yang aman, rezeki melimpah dan penduduk yang beriman kepada Allah sebagaimana doa Nabi Ibrahim AS dalam QS. Al-Baqarah 126. Jadi negara harus aman terlebih dulu, baru mikir kesejahteraan, serta orang bisa menjalankan agama dengan baik. Dan, InsyaAllah semua bisa dijalankan di Indonesia, tanpa harus menunggu khilafah tegak.
Wallahu A’lam Bisshawab
(Mohon maaf jika fotonya tidak pakai kopiah dan berkaos oblong, padahal dimuat di majalah milik pesantren. Sebab redaktur Al-Ittihad hanya mencomot foto saya tahun 2014 ini di google, tanpa sepengetahuan saya. Padahal sudah saya siapkan foto saya yang lebih ganteng dari Aamir Khan. Hahaha)
Salam, Namaste!