by Riedjalyev Moumazzeikovich Zyelov (Mass Rizal)
Konon, kata pahlawan berasal dari gabungan antara “pahala” dan “wan”; sosok yang mengantongi banyak pahala. Konon pula, kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sansekerta, “phala-wan” yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Untuk itulah, gelar ini tak sembarangan dianugerahkan. Ia begitu sakral, keramat, dan tak seorangpun yang berhak mengklaim dirinya dengan sebutan ini. Sebab gelar ini hanya untuk mereka yang memiliki deposito pahala, menanam jasa, dan memberikan sumbangsih sedemikian rupa bagi seseorang, komunitas, kelompok, bangsa, hingga dunia sekalipun.Pahlawan bagi satu orang, sebuah kelompok, bisa jadi keparat terlaknat bagi kelompok lain. Isoroku Yamamoto, bagi Jepang, adalah pahlawan nomor dua setelah Hirohito. Mereka dipuja, disucikan, dan dikisahkan dalam epos menjelang tidur. Tapi keduanya menjadi monster yang wajib dikutuk Eropa dan Amerika. Hitler, Mussolini, Milosevic, Saddam, Castro, Osama, Ariel Sharon, Bush, hingga Obama sekalipun, adalah pahlawan di satu komunitas sekaligus kriminal di kelompok lain. Ya, sakralitas kosakata ini mengandung anasir subyektif kental, sebagaimana selaput tipis yang membedakan cerdik dan licik. Tergantung darimana kisah dimulai.
Ya, hero memang tergantung kaitan antara jasa dan kontribusi seorang dengan sudut pandang mereka yang merasakan secara langsung jasa-jasanya, dalam waktu yang tak terbatas.Lebih dari itu, pra-syarat mutlak yang menjadi esensi pahlawan adalah jiwa perwira, ksatria, berani—bagaimanapun konyolnya ia–, dan tak harus menang. Pahlawan tak melulu pemenang, ia bisa jadi pecundang. Tak percaya? Silahkan lihat di epos pengisi waktu luang ataupun epos pengantar tidur. Di sana, ada pemenang yang menekuk pecundang. Si penekuk tak langsung jadi pahlawan, begitu pula sebaliknya. Yang menjadi—dan disebut—pahlawan adalah sikap, prinsip, nilai, yang melekat pada tokohnya, bagaimanapun berakhirnya ia. Magnetnya bukan pada sosoknya, tapi pada sikapnya, pada pemikirannya, dan tindakannya. Karena itulah, mungkin, kisah kepahlawanan selalu asyik dinikmati. Asyik dinikmati kisahnya, bagaimanapun berakhirnya ia, karena pahlawan harus melampaui sisi dramatik, romantik, tragis, ironik, bahkan konyol—sebelum mati dan dikenang dengan syahdu.
Dan, saat ini masa yang tepat buat Polri untuk mengasah dirinya agar betul-betul menjadi hero. Polri, bisa menjadi pahlawan di masa depan, setelah ia melampaui jalinan cerita yang dramatik, heroik, dan bisa juga disisipi kekonyolan seperti lagak Susno Duaji dan oknum yang disuapi Gayus, agar Polri bisa betul-betul heroik dan asyik sebagaimana serial film NYPD, California High Patrol, ataupun SWAT. Memang pahlawan itu kadang-kadang juga butuh badut dan punakawan, agar kisahnya manusiawi dan menggelitik nurani. Sebagaimana Harun Arrasyid butuh Abunawas, Timurlenk butuh Nasrudin Hoja, dan Pandawa butuh kwartet Semar, Gareng, Petruk, Bagong, maka Polri sang hero pribumi, juga butuh Susno Duadji, Wiliardi Wizar, dan sedikit aksi kocak Gayus Tambunan agar Polri punya badut yang membuat kisah kepahlawanannya betul-betul manusiawi 24 karat.
Badut tak hanya diperlukan sebagai pengocok perut, ia dibutuhkan untuk meruntuhkan ego (calon) pahlawan. Ia mengkritik lewat kata maupun lelaku; tanpa etika, nir-estetika, dan seenak udel-nya. Justru tindakan demikian inilah yang mampu menyeimbangkan kosmos agar (calon) pahlawan tetap ingat pada jatidirinya. Sebagai badut, yang aksi pikniknya di Bumi Dewata bikin geleng-geleng kepala, justru menjadi alarm serius bagi hero macam Polri agar bercermin dan membenahi tatanannya yang belepotan. Ayolah, bukan jamannya lagi polisi datang telat (berkumis, pakai kacamata hitam, mengendarai mobil patroli yang meraung-raung, lalu tergopoh-gopoh) setelah penjahatnya ditekuk pahlawan bertopeng. Polri setidaknya bisa menjadi Chuck Norris dalam serial lawas Walker Texas Ranger, atau meniru aksi Collin Farrel dalam film SWAT. Uh, keren! Demikianlah saudara-saudara, badut bernama Gayus memang memporakporandakan tatanan jagat hukum. Ia telah lancang memperkosa nurani para abdi ndalem agar ikut menikmati peran yang ia mainkan. Namun, Gayus dibutuhkan agar (calon) pahlawan tetap ingat bahwa ia punya banyak kelemahan. Gayus dibutuhkan agar (calon) pahlawan tetap ingat tugas hakikinya sebagai pembela kebenaran, penegak keadilan, dan berpijak pada sifat ksatria dan sikap perwira. Bukankah demikian, (calon) pahlawan?
Web Penjualan Gamis Haromain dan Baju Koko
murah dan ekslusif
http://www.tokorahad-banjarmasin.com/
Jangan Lupa Kunjungi Juga
Youtube Hilyah
https://www.youtube.com/user/KoleksiHilyah
Web Hilyah
http://hilyah.id/
Kunjungi Juga Blog Pecinta Habib Hanif
http://pecintahabibhanif.blogspot.com/
kalau ini web tentang makanan
https://allnicerecipes.blogspot.com/
Kunjungi juga
http://tokohalwa.blogspot.com/