Banyak orang yang salah – semoga Allah memperbaiki dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar – dalam memahami sebab-sebab yang mengakibatkan kemurtadan dan kekafiran. Mereka nampak begitu mudah mengkafirkan atau menganggap kafir saudaranya sesama muslim hanya karena beberapa hal yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Kami memandang mereka yang mempunyai kebiasaan seperti itu dengan baik sangka. Mereka sebenarnya mempunyai niat yang baik. Paling tidak , mereka bermaksud mengupayakan kemurnian ajaran Islam dari perbuatan syirik, dan memperbaiki kesalahan lainnya melalui amer ma’ruf dan nahi mungkar. Namun , mereka tampaknya tidak menyadari bahwa pelaksanaan amer ma’ruf dan nahi mungkar itu sama sekali tidak dapat dilepaskan dari sikap bijaksana. Dan jika ada yang perlu diperdebatkan pun, harus melalui diskusi yang paling baik dengan motovasi mencari kebenaran, bukan untuk mencari kemenangan . Hal itu diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Cara yang bijaksana itu sangat mudah diterima dan sangat memudahkan untuk mencapai tujan kita , selain tidak akan menjerumuskan kita ke jurang perpecahab dan pertengkaran .
Jika seorang muslim atau muslimat mau mendirikan solat, melaksanakan yang diwajibkan oleh Allah, menjahui segala yang diharomkan Allah, bahkan menyebarluaskan da’wah islam, rajin memakmurkan masjid, giat meramaikan pendidikan dan kebudayaan Islam, tetapi kita melihatnya melakukan sesuatu yang menurut kita salah, tetapi menurutnya benar – artinya , dia tidak sejalan dengan pendapat kiata – dan para ulama’pun belum sepakat sejak dahulu sampai sekarang , lalu kita menganggapnya KAFIR , maka sebenarnya kita sendiri yang telah melakukan perbuatan yang sangat berbahaya di tengah-tengah umat Islam; suatu perbuatan yang dilarang keras oleh Allah dan RosulNya. Maka kita harus segera memperhatikan kode etik berda’wah atau mengajak orang ke jalan yang diridoi oleh Allah.
Al-Allamah Imam As-Sayyid Ahmad Mashur Al-Haddad mengatakan : “Sesungguhnya telah ditetapkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama’) mengenai larangan mengkafirkan orang yang solat menghadap kiblat, kecuali jika dia mengingkari sang pencipta atau melakukan perbuatan syirik dengan terang terangan atau mengingkari kenabian Nabi Muhammad atau mengingkari sesuatu yang pasti benarnya dan mudah difahami dalam ajaran Islam atau mengingkari suatu masalah atau hadist mutawatir ( yang sudah jelas keshohihannya) atau tidak mengakuisesuatu yang telah disepakati para ulama.
Dalam ajaran Islam, masalah yang dapat diketahui secara pasti kebenarannya seperti masalah tauhid ( mengakui ke-esa-an Allah), masalah kenabian, telah ditutupnya risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad, kiamat, hisab, pembalasan pada hari kiamat, surga dan neraka.
Jika seseorang mengingkari hal-hal seperti itu, ia dapat dinilai sebagai orang kafir. Setiap Muslim tidak boleh berhalangan untuk mengetahui hal-hal pokok seperti itu, kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Orang yang baru masuk Islam boleh – untuk sementara – berhalangan : untuk selanjutnya dia harus mempelajari juga, dan tidak boleh banyak alasan untuk tidak mengetahui dan mempercayai atau meyakininya.
Adapun hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perowi yang tidak mungkin melakukan kebohongan, diterima dari sejumlah orang yang seperti mereka, baik dari segi isnad yaitu rangkain sejumlah orang yang meriwatkannya – seperti hadist :
من كذب عليَّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار
” Siapa saja yang berbohong atas-Ku , hendaklah menyiapkan tempat duduknya didalam nereka “ – maupun dari segi thobaqot atau tingkatannya, seperti mutawirnya Al-Qur’an karena Al-qur’an mutawatir, baik di barat maupun di timur, baik dalam hal mempelajari ataupun membacanya, dan diterima sejak dahulu sampai sekarang dari sekelompok yang banyak, dari kelompok yang banyak pula, dari dari thobaqot-thobaqot lainnya sehingga tidak lagi memerlukan isnad.
Kadang-kadang yang mutawatir itu dalam bentuk perbuatan yang secara turun-temurun , sejak masa hidup Nabi Muhammad sampai sekarang , di amalkan dan di praktikkan serta tidak ada orang yang mengingkarinya (khususnya dari kalangan para ulama’) . Bisa juga mutawatir dari segi ilmu seperti kemutawatirannya segala mu’jizat Nabi Muhammad. Meskipun sebagaimana ada yang diriwayatkan secara ahad (individu), ada yang shohih, hasan, dan ada yang dhoif, tetapi dapat di nilai mutawatir dengan ilmu pengetahuan setiap insan muslim.
Jadi , jika hal-hal yang telah disebutkan diatas diingkari oleh seseorang – atau hanya salah satunya – maka orang itu boleh dinilai kafir atau murtad. Sedangkan terhadap orang-orang yang tidak mengingkari salah satu dari hal-hal poko tersebut, siapapun tidak boleh menilainya sebagai orang kafir. Dalam sebuah hadist , Rosulullah menegaskan
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما – رواه البخاري عن أبي هريرة .
” Jika seseoarang berkata kepada saudaranya “HAI KAFIR ” maka kekafiran akan kembali kepada salah seorang di antara keduanya “
Sebetulnya menilai kafir atau mu’min itu hanyalah hak orang yang memang – dengan sinar Ilahi dan cahaya syariat Islam – mengetahui sisi perbuatan yang menimbulkan kekafiran , juga mengetahui secara pasti batas yang jelas antara keimanan dan kekafiran di tinjau dari syariat Islam yang mulia dan sempurna.
Jadi tidak boleh sembarang orang memasuki medan seperti ini untuk menuduh kafir terhadap saudaranya yang muslim hanya didasaarkan pada suatu prasangka yang tidak pasti, tanpa menggunakan ukuran yang pastidan meyakinkan, tanpa ilmu pengetahuan yang jelas dan ukuran yang benar. Jika tidak hati-hati dan banyak sembarang orang memasuki medan ini , maka dapat diduga dengan kuat , tak ada seorang muslim pun yang selamat dari tikamannya ; mereka pasti dianggap kafir , terutama ketika tidak sejalan dengan pikiran , pendapat atau mazdhab mereka.
Demikan pula, tidak boleh siapa pun mengkafirkan orang lain hanya karena melihatnya melakukan kemaksiatan (banyak atau sedikit), padahal dia masih mempunyai keimanan dan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dalam hubungan ini, Rosulullah saw – dalam hadits yang diterima Anas bin Malik – bersabda :
ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل ، والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل والإيمان بالأقدار.. أخرجه أبو داود ..
“Tiga hal yang merupakan inti (asal) keimanan : berhenti (dari mengkafirkan) dari orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah ; tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut karena dia berbuat dosa. Tidak mengeluarkannya dari (kelompok) islam hanya kerana berbuatan (maksiat) – dan jihad pun tetap berlaku sejak aku diutus menjadi Nabi sampai umatku yang paling akhir (yang) merugikan Dajjal ; jihad tidak akan dibatalkan/dihapus karena kedhaliman orang yang dhalim ataupun keadilan orang yang adil. Dan (yang ketiga) keimanan kepada qadar (H.R. Abu Dawud r.a)”
Imam haramain berkata : ” jika dikatakan kepada kita : ‘Pisahkan – secara rinci – ungkapkan atau perilaku yang mengandung kekafiran dan yang tidak begitu’, kami pasti akan menjawab : ‘Ini suatu keinginan yang bukan pada tempatnya karena (hak) mengkafirkan orang lain termasuk yang sangat jauh jangkauannya dan sangat dalam wawasannya, yang harus dikaji dari asal usul (pokok-pokok) tauhud. Siapa saja yang tidak mengetahui suatu sampai pada hakikat (pokok) nya, tidak mungkin mengetahui cara membuktikan data kekafiran seseorang secara pasti berdasarkan data dan dalil’. ”
Oleh karena itu, kami menyarankan supaya setiap muslim berhati-hati untuk mengucap orang lain dan cap “kafir”, terlebih dalam masalah-masalah diluar apa yang telah disebutkan dan dijelaskan diatas, karena pekerjaan seperti itu mengandung bahaya yang besar dan – sebetulnya – hanya Allah-lah yang dapat menunjukkan seseorang kejalan yang lurus, dan hanya kepada –Nya lah kita semua akan dikembalikan. Wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih mengetahui yang lebih benar).