Menabur Benih Islam Ramah yang menjadi Rahmah
Oleh : Rijal Mumazziq Zionis
Seorang teman, dengan sinis menilai kontribusi pesantren dalam membendung terorisme pantas dipertanyakan. Ia bahkan mencurigai, “diam-diam” pesantren memiliki andil dalam memberi asupan gizi militansi dan kalori ekstrimitas pada teroris berjubah Islam. Ya, bom beberapa kali menyalak pada satu dasawarsa terakhir, menerbitkan kembali kecurigaan bahwa sikap ekstrim dalam beragama dipupuk di pesantren. Benarkah?
Sebagaimana yang dialami para alumni pesantren tatkala mondok dulu, tak ada kurikulum kekerasan di balik bangku-bangku panjang para santri. Semuanya berjalan secara apa adanya, dengan kitab-kitab standar yang sama, pola pengajaran yang tak jauh berbeda, hingga metode pendadaran santri yang khas. Tak ada yang pantas dicurigai dari pesantren. Jaringan-jaringan pesantren yang ada, mengingatkan Penulis pada tesis Bennedict Anderson mengenai Imagined Community (komunitas imajiner). Jenis komunitas ini ada, menurut Anderson, karena para anggota komunitas sebenarnya tidak mengenal satu sama lain, namun memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang sama. Ia adalah himpunan yang kurang lebih homogen, baik pada level “ruang” atau “waktu”.
Sebagai pewaris kejayaan keilmuan Islam masa klasik, pemahaman masyarakat bersarung terhadap khazanah keilmuan klasik secara komprehensif justru menghasilkan kemampuan khas untuk menyelesaikan persoalan rumit dengan bahasa yang sederhana. Pergulatan kiai, sebagai pemukanya, dengan khazanah kitab kuning (yang sering dituduh out of date) ternyata menghasilkan sebuah fleksibilitas dan efektifitas pengambilan hukum aktual-kontekstual yang dikalkulasikan atas pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah.
Akan tetapi, kondisi pesantren adakalanya mengalami pasang surut di setiap zaman. Pesantren, ada saatnya manunggal dengan keraton sebagaimana yang terjadi pada masa Kerajaan Demak, menjadi oposisi pada masa-masa berikutnya, maupun menjadi jembatan antara keraton dan rakyat pada masa selanjutnya. Kondisi, kebutuhan dan keadaan-lah yang biasanya membuat pesantren mampu beradaptasi di segala zaman.
Akan tetapi, terdapat sebuah hubungan yang kurang mengenakkan antara pesantren dengan pemerintah, tatkala Orde Baru pada awal 1970-an mulai mengusung proyek developmentalisme. Islam Tradisional (gerbong masyarakat pesantren) yang sebelumnya cukup dekat dengan Orde Lama, kali ini harus mundur halus. Sebab, untuk mendukung keberhasilan proyek developmentalisme-nya, Orde Baru memilih bergandengan tangan dengan Islam Modernis, yang dianggap punya kemampuan manajerial lebih baik dibandingkan Islam Tradisional. Sejalan dengan itu, ruang gerak Islam Tradisionalis mulai dimampatkan, baik secara politis, sosial, kultural maupun birokratikal.
Modernisme Islam yang macet?
Hingga akhirnya, proyek Modernisme Islam yang hendak menggusur dan menggeser elemen Tradisionalisme Islam, nyatanya hanya berhenti para dimensi tanwir al-uqul (pencerahan akal) saja, yang berusaha mencapi simetrisme alias kesejajaran antara ajaran Islam dengan capaian-capaian teknologi modern dan konstruksi “penyeragamaan” ala masyarakat modernis. Ia mempromosikan sebuah sikap beragama yang “kota”, jauh dari tradisi-tradisi khas Islam “desa”. Proyeksi ini seolah cocok dengan klasifikasi Ernest Gellner mengenai Islam “tradisi tinggi” dan Islam “tradisi rendah”. Untuk itu, gerakan ini agak alergi dengan sufisme dan ritual yang dianggap kental dengan nuansa sinkretis.
Namun, proyek modernisme Islam ini mengalami kemacetan pada akhir 1980-an, seiring dengan memuncaknya efek samping kegagalan developmentalism. Dari sisi esoteris, Modernisme Islam gagal memberikan pijakan makna hidup kepada masyarakat urban yang mengalami—meminjam istilah Seyyed Hossein Nasr—“kesengsaraan spiritual”. Akhirnya, masyarakat urban mulai berpikir untuk melakukan sebuah rekonstruksi arah keagamaannya, dengan kembali melirik Islam “tradisi rendah” yang kaya akan dimensi tasawwuf, yang memiliki tawaran tanwir al-qulub, pencerahan hati. Akhirnya, tradisi dan ritual khas Islam tradisional perlahan-lahan diusung ke kawasan urban. Istighasah, dzikir akbar, dan parade keagamaan dirayakan secara ekstravagan di ruang publik perkotaan.
Ironisnya, proyek modernisme Islam yang yang macet ditambah dengan efek developmentalism yang gagal, juga melahirkan varian keagamaan lain. Varian gerakan keagamaan ini jumlahnya minoritas, namun militan, lincah dan memiliki jangkauan global. Mereka juga meneguhkan diri dengan penandaan identitas yang mencolok seperti jenggot, gamis, celana cingkrang, cadar, dll. Disebut berjangkauan global, karena mereka mengusung isu-isu internasional. Apalagi pada awal 1990-an, peristiwa memilukan yang menimpa negara-negara Islam mencapai puncaknya. Perang Teluk I, Konflik Palestina-Israel, Perang Afghanistan, Perang Balkan, dan kelaparan massal di beberapa negara muslim di Afrika, adalah “jualan isu” yang efektif mengatrol kuantitas varian baru ini.
Serentak dengan itu, Orde Baru mulai bersikap lunak terhadap Umat Islam dengan memberikan celah dibentuknya ICMI yang menandai “Islamisasi birokrasi” (untuk menandingi militer yang mulai menarik dukungan pada Pak Harto). Akhirnya, celah ini dimanfaatkan sebagai peluang untuk menyuburkan kajian ke-Islaman yang tersentrum di beberapa kampus “sekuler”, meskipun masih belum mencolok.
Akhirnya, tatkala Reformasi tiba, gerakan-gerakan Islam yang sebelumnya bergerak secara klandestein kembali menghidupkan isu-isu lama, seperti negara Islam Indonesia, menghidupkan kembali Piagam Jakarta, Formalisasi Syariat Islam, hingga Khilafah Internasional. Beberapa ormas kecil terbentuk dengan jumlah anggota tak seberapa namun sangat aktif dalam mendukung isu-isu di atas.
Namun, dari beberapa varian tersebut, sebenarnya ada gerakan sempalan yang sangat berbahaya. Mereka seolah mengalami egosentrisme religius dengan menafikan the others. Kebenaran hanya milik mereka. Sebuah logika hitam putih yang melahirkan vernunft trubung (pengeruhan akal), kata Emil Dofivat. Sebuah pandangan dikotomis yang pada akhirnya membuat pandangan picik. Mereka inilah yang berjuang dengan memakai kekerasan. Jaringannnya sangat luas, dengan pola sel terputus, dana melimpah, serta militansi, ekstrimitas dan loyalitas anggota yang tak perlu diragukan lagi. Gerakan inilah yang menjadi benalu di tubuh ummat Islam. Ia ibarat kanker; tak terdeteksi namun mematikan. Gerakan ekstrem ini kembali memakan korban kala beraksi di Masjid Polres Cirebon beberapa waktu silam. La’natullah alahi.
Kuncinya Pada masyarakat Bersarung
Kunci sebenarnya untuk membendung gerakan berbahaya ini ada pada the silent majority, kalangan mayoritas yang (seolah-olah diam) karena memang memakai strategi sepi ing pamrih rame ing gawe. Mereka inilah yang sebenarnya juga memiliki andil dalam membendung ekstrimitas beragama melalui lembaga pesantren sebagai basis gerakan, dengan kiai sebagai mastermind. Sistem pengajaran pesantren yang nonstop itu telah terbukti mencerdaskan santri secara utuh. Semua sasaran pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Benjamin S Bloom, yaitu kognitif (pikiran atau hafalan), afektif (feeling atau emosi), dan psikomotorik (tindakan) telah digarap dalam sistem pengajaran pesantren yang demikian mengakar selama ratusan tahun.
Kaum bersarung inilah yang, dalam pandangan Sidney Jones, menjadi akar penguat agar moderatisme Islam tak ambruk. Mereka memilih menjadi mayoritas yang diam, di antaranya juga karena keterbatasan mereka dalam penguasaan media. Selain itu juga terkait dengan komitmen moral dan ajaran yang mereka yakini bahwa sikap tawaddlu adalah sesuatu yang mulia, dan sebaliknya sikap menonjolkan diri adalah sikap yang tidak sejalan dengan apa yang dicontohkan para ulama terdahulu. Aksi-aksi sosial membantu orang yang tidak mampu, mendidik orang yang tidak tahu, menumbuhkan spirit kemandirian di tengah masyarakat adalah dakwah bil hal yang kesemuanya didedikasikan sebagai ibadah. Sangatlah tidak elok jika ibadah sosial tersebut dipamerkan kepada orang lain sehingga akan mengurangi nilainya.
Mengapa harapan ini diletakkan pada komunitas bersarung? Sebab, berbeda dengan golongan (firqah) keagamaan yang lain, pandangan dunia pesantren (dan NU) menggabungkan tiga perspektif, yaitu dimensi teologis atau spiritual, dimensi akhlak atau tasawuf, dan dimensi hukum atau fiqh. Semuanya diposisikan saling menunjang dan melengkapi, bukan terpisah atau saling berhadapan.
Dimensi teologis berfungsi mengukuhkah ketauhidan serta membawa kesadaran akan fungsi manusia sebagai khalifatullah. Dimensi akhlak atau tasawuf dikembangkan untuk membangun suatu kultur yang berbasis pada nilai-nilai kesantunan, kebijaksanaan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Terakhir, dimensi hukum atau fiqh dikembangkan untuk menopang proses bagaimana hukum diterapkan. Ketiga dimensi di atas merupakan satu kesatuan, tidak bisa dikedepankan salah satu aspeknya saja. Beberapa hal di atas itulah yang menyebabkan akademisi Barat termehek-mehek jatuh hati pada dunia pesantren.
Ketiganya juga bisa dipakai sebagai acuan memahami kompleksitas pesantren. Ketiganya berfungsi sebagai “teropong” yang digunakan untuk menilai dan mempertimbangkan aspek masfsadah dan mashlahah segala sesuatu. Untuk itulah, pesantren hingga saat ini tidak gampang terjebak sikap tatharruf dan taasshub. Inilah yang saya kira menjadi kunci untuk mengkampanyekan “Islam ramah” yang menjadi “rahmah” bagi seluruh alam.
Mercusuar kampanye Islam rahmatan lil alamin dalam pengamatan saya memang sangat pas jika disematkan di pundak pesantren. Sebab pesanrtren memiliki posisi unik. Ia seperti berada di wilayah periferi kekuasaan negara, sekaligus hadir di jantung masyarakat. Dan, sebagai figur sentral pesantren dan masyarakat, kiai dituntut bersikap kontekstual, fleksibel dan elastis menyikapi dinamika sosial, sekaligus menjaga agar jatidiri dan sistem nilai pesantren tak luntur. Dalam strategi sosial kebudayaan, kepercayaan diri self confidence yang berkelindan dengan sikap pertahanan diri (self defensive) seperti ini, akan memberikan landasan kuat bagi transformasi sosial.
Strategi di atas, memungkinkan pesantren untuk melihat persoalan kemasyarakatan dengan prinsip dan nilai-nilai Islam. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid, lembaga yang dilahirkan dari strategi ini tidak akan menjadi institusi yang eksklusif, melainkan berupa institusi umum yang diterima oleh seluruh masyarakat.
Lebih dari itu, dalam berbagai pengamatan para ”orientalis pesantren” (Hirokoshi, Feillard, Jones, Bruinessen, hingga Geertz dll) ada dwifungsi vital pesantren sebagai centre of excellence yang menjadi kawah candradimuka pemikir agama (religious intellectual) sekaligus fungsi sebagai agent of development yang menangani pembinaan pemimpin masyarakat (community leader). Apabila fungsi pertama memaksa pesantren untuk berkembang menjadi pusat studi keagamaan dan kemasyarakatan, maka fungsi terakhir menuntut pesantren menjadi pionir dalam program-program pengembangan masyarakat itu sendiri. Pada titik ini, pesantren telah menahbiskan diri sebagai institusi pendidikan, dakwah sekaligus lembaga sosial.
Keberadaan kiai dan pesantrennya di wilayah rural memungkinkannya untuk selalu merasakan denyut nadi masyarakat marginal. Secara sosial-ekonomi-politik-budaya, masyarakat seperti ini jelas tak punya daya tawar pada negara yang hegemonik. Di sinilah, barangkali, posisi strategis pesantren dalam memberikan kontribusi besar pada social engineering dan transformasi sosial.
Maka, dalam catatan sejarah, muncullah nama-nama kiai dari sudut pesantren yang memiliki loyalitas tinggi mentransformasikan misi profetik. Tak perlu Penulis menyebutkannnya satu persatu, sebab halaman dalam makalah ini terasa tak cukup menampung nama-nama para kiai yang berjasa menancapkan akar Aswaja di bumi Nusantara serta menyumbang blue print Indonesia merdeka. Merekalah yang menjadi pionir, transformator, reformer, hingga tentu saja sebagai ulama pewaris nabi (Mohon maaf, saya sama sekali tak bernafsu meNuhankan kiai sebagaimana dikampanyekan penulis spesialis caci maki melalui buku “Bila Kiai Dipertuhankan”).
Ngrasani Kiai memang nagihi. Ia menjadi magnet bagi masyarakat santri. Posisinya– meminjam istilah Abid al-Jabiri—adalah “istana imajiner”, yang diidamkan banyak orang karena posisinya yang strategis dalam bidang agama, sosial, kultural, (dan politik?). Untuk itulah ada orang yang berusaha keras “mengkiaikan diri” meskipun masyarakat belum tentu mengamininya. Gelar kekiaian merupakan sebuah saripati budaya masyarakat Islam Jawa dalam menghormati tokoh (maupun benda). Namun demikian, tak ada lembaga resmi yang berhak menganugerahkan maupun mencabut gelar ini. Ia bersifat honoris causa dengan masyarakat sebagai tim penguji sekaligus promotornya.
Gelar “kiai” juga merupakan sebuah gelar yang indegenous Jawa (sebutan ini memiliki varian lain sesuai sosial-budaya setiap suku). Di negara-negara Islam bagian Arab dan Eropa, sulit dibedakan antara kiai dan pemikir. Sebab tidak berlakunya kultural gelar “kiai“ di sana, dan adanya perbedaan sistem Islam di lapangan, misalnya tidak berlakunya Islam sinkretik (kajian Clifford Geertz) atau Islam akulturatif (kajian Woodward) dan seterusnya. Umumnya bagi figur religius bangsa Arab berlaku gelar “syaikh“, atau “profesor“ di negara-negara Eropa/Amerika –lazimnya gelar akademisi.
Ada pendapat menyentil yang dikemukakan Arief Budiman, sosok yang bukan dari kalangan pesantren dan tidak begitu dekat dengan kiai. Dia membuat kategorisasi menarik, kiai itu ada tiga: Kiai produk masyarakat, Kiai produk pemerintah, Kiai produk pers. Kalau mau lebih detail, tambah KH. Mustofa Bisri dalam sebuah tulisannya, sebenarnya masih ada dua jenis kiai lagi; yaitu kiai produk politisi dan kiai produk sendiri. Dan, dari kategorisasi di atas, kita semua berharap ada sedikit harapan bahwa kiai yang benar-benar kiai masih dapat kita temui di masayarakat. Agar umat seperti kita dapat mencecap segala kealimannya, menguras segala kearifannnya, dan mengurai ajaran-ajaran damainya bagi seluruh alam.
Mustahil kiranya mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam tanpa melibatkan unsur pesantren. Ia adalah pewaris kegemilangan Islam di masa klasik. Akhirnya, hanya sejarah-lah yang akan menjadi hakim penentu (only history will be able to judge) atas upaya masyarakat pesantren dalam membangun tatanan sosial untuk kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam bisshawab.
Alas Beton Soerabaia. 24 April 2011
Web Penjualan Gamis Haromain dan Baju Koko
murah dan ekslusif
http://www.tokorahad-banjarmasin.com/
Jangan Lupa Kunjungi Juga
Youtube Hilyah
https://www.youtube.com/user/KoleksiHilyah
Web Hilyah
http://hilyah.id/
Kunjungi Juga Blog Pecinta Habib Hanif
http://pecintahabibhanif.blogspot.com/
kalau ini web tentang makanan
https://allnicerecipes.blogspot.com/
Kunjungi juga
http://tokohalwa.blogspot.com/